Ketika tengah sibuk berjibaku dengan wajan penggorengan di dapur restoran, sesekali, mataku menangkap basah dua sosok laki-laki yang menatap resah ke arahku. Setiap kali ku lirik, mereka menunduk seakan kikuk.
Merasa ada yang harus ku urus, pekerjaan ku yang belum selesai dengan sempurna sengaja ku alih-tugaskan pada Pak Gerry yang terlihat baru saja menyelesaikan masakannya.
"Pak Gerry, kalo gak sibuk, tolong selesaikan masakan yang saya buat ya, tinggal di platting aja, kok." Pak Gerry mengangguk mantap mendengar perintahku. Dengan nada suara dingin, aku mengimbuhkan, "Rafly dan Zildan, kalian ke ruangan saya."
Sontak semua mata tertuju menatap Rafly dan Zildan. Tanda tanya tampak jelas di wajah para pegawai ketika menatapku.
"Ta-tapi, chef, saya masih harus masak—"
Ku potong cepat ucapan Rafly barusan. "Selesaikan dengan cepat lalu kamu dan Zildan segera ke ruangan saya."
Tak mau mendengar penolakan serta berbagai alasan, aku melangkah pergi menuju ruangan ku di lantai atas.
Beberapa menit kemudian, Rafly dan Zildan ku persilahkan masuk setelah sebelumnya mengetuk pintu.
"Se-selamat malam, chef." Menyapa dengan terbata, Rafly terus menundukkan kepalanya seolah tak memiliki nyali untuk berbalas tatap denganku yang tengah duduk tenang di atas kursi.
Tidak berbeda dengan Rafly, Zildan pun terlihat ciut di hadapanku. Dia terus menundukkan kepalanya begitu rendah. Hanya pemandangan lantai yang ia tatap lesu. Raut wajahnya sendu, keningnya mengkerut kalut membuat iba siapa saja yang melihatnya.
Sebelumnya, dari balik pintu, aku sempat mendengar kedua koki itu saling berargumen.
"Kira-kira kenapa ya chef Zura manggil kita kesini? Gak biasanya." Itu suara Zildan. "Perasaan gue gak enak."
"Lo udah pikun apa? Tau sendiri kan apa yang kita lakuin kemarin di parkiran?" Ralfy menyahut.
"Oiya, udah pasti kena hukuman lah kita."
"Masih mending kalo cuma hukuman, gimana kalo ternyata kita bakal di pecat? Secara, kemarin kita udah keterlaluan banget, kan. Sumpah gue nyesel banget, Dan. Gak seharusnya gue ngomong sompral gitu."
"Gue juga nyesel, Raf. Tapi kalo emang hari ini chef Zura mutusin buat nge-PHK gue, gue ikhlas, kok. Gue ngaku, gue emang salah."
"Ya udah lah kita pasrah aja, Dan."
Tok tok tok ...
Aku duduk tenang di atas kursiku, menatap secara bergantian dua koki yang berdiri gemetar di hadapanku.
"Menurut kalian, kira-kira kenapa saya manggil kalian kesini?" Aku mulai membuka suara. Mendapat pertanyaan tersebut, secara perlahan kepala Rafly terangkat, mendongak menatapku seakan ragu. Jakunnya naik turun. Tampaknya ia kesulitan menelan saliva.
"Ka-kayaknya saya tau, chef." Dengan gugup Rafly menjawab.
"Wow, bagus dong kalo kamu tau!" seruku dengan seringai puas. "Coba tebak, kenapa saya manggil kamu kesini?" kali ini bukannya seringai, aku menatap koki di hadapanku dengan sorot serius. Sedikitpun, tak ada senyuman yang menghiasi wajahku.