"Mana ya? Apa dia gak masuk sekolah?"
"Lo nyariin siapa, sih?" kernyit Olla.
"Oh! Panjang umur! Orangnya dateng tuh! Wei, Rizlan!" Aku memanggil namanya dengan nada semangat. Sejak kemarin sudah tak sabar ingin segera bertemu dengannya. Ingin tahu bagaimana kabarnya setelah dipukul Rifai kemarin. Apakah dia baik-baik saja?
Aku berdiri di koridor lantai satu dibantu tongkat kruk, cowok yang ku sapa dengan senyum hangat serta ceria ini berjalan cuek setelah memarkirkan Ninja hitamnya. Dia melihatku sekilas, tampangnya teramat dingin, melihatku seperti aku punya salah saja.
Senyuman yang semula terbit di bibirku perlahan luruh memudar. Cowok yang ku nanti itu melesat begitu saja tanpa menghiraukanku.
"Si Rizlan kenapa tuh? Tumben-tumbenan tuh anak cuek banget, biasanya dia suka ngekorin lo, kan."
Sama halnya seperti Olla, aku juga sangat heran. Rizlan sebenarnya kenapa? Apa yang salah dariku?
"Kita susul aja yuk!" ajakku.
"Ya udah yuk!" seru Olla antusias.
"Preman sebelas IPA empat guys, Hahaha ..."
"Premannya cacat, Haha..."
"Kasian tau ih."
"Ngakak."
Sungguh, karena terlampau sering dihina, untuk menanggapi segala ejekan itu aku kelewat malas. Bukannya tak sakit hati, hanya saja, terlalu tak penting untuk meladeni orang-orang macam mereka.
Aku bisa tahan dengan segala olokan itu. Tetapi tidak dengan Olla. Masalahnya, selain kagetan, sahabatku ini tipe orang yang gampang naik pitam, apalagi kalau menyangkut sahabatnya. Lihat saja, saking kesalnya, tangannya sudah mengepal kuat, wajahnya merah padam. Cewek itu berbalik, menyorot sengit ke arah segerombolan siswi yang entah dari jurusan mana. Tetapi setahuku mereka dari kelas XI.
"Kalian tuh punya mulut gak di sekolahin apa gimana, sih? Seenaknya aja ngata-ngatain orang! Masalah kalian apa?"
Aku menyenggol pelan lengan Olla, "Udah lah, La, gak usah di ladenin, yuk cabut."
"Udah gih cabut, Hahaha ..."
"Sirik aja lo pada!" sentak Olla.
"Ih, ngapain sirik sama orang cacat kayak gitu?!"
Olla membelaku, "Ya mendingan sahabat gue lah, cacat kaki, tapi bentar lagi bakalan sembuh. Beda sama orang yang cacat otaknya kayak kalian. Begonya abadi!"
"Apa lo bilang?!" salah seorang dari mereka melotot tak terima.
"Apa lo?! Lo pikir gue takut?! Sini maju!" Olla menantang, dia tidak main-main.
"Lagian lo siapa, deh? Babunya?"
"Hahaha ..."
"Bener-bener gak punya etika ya kalian." Aku tentu saja tak tinggal diam. Ikut melawan tatkala sahabatku dikatai seperti itu oleh cewek-cewek yang jumlahnya sekitar enam orang itu.
"Kenapa? Preman cacat mau belain kacungnya?"
"Gak bisa di sabarin ya kalian!" Sebelum Olla sempat berhasil menjambak rambut salah satu dari mereka, aku cepat-cepat melarangnya.