Tujuh: Rahasia

37 1 0
                                    

Aku berlari sekencang-kencangnya ketika kulihat Rifai tengah asyik menyiksa seekor kucing tepat di belakang gedung sekolah.

"Rifai! Lo apa-apaan, sih?"

"Napa? Lo mau ikutan?"


Dengan gerak cepat, cowok itu melempar kucing lalu menendangnya sekuat tenaga seolah sedang menendang bola ke arah gawang. Begitu bersemangat.

Disaat kucing ingin kabur, dia kembali menangkapnya. Kemudian dia kembali melempar kucing berbulu hitam tersebut hingga terpelanting.

Aku baru akan kembali mencegahnya sebelum kemudian dia menatapku dan mengukir seringai beringas.

Kucing yang dia siksa tadi lari terbirit-birit berusaha menyelamatkan diri.

Aku menelan saliva. Tak setuju dengan apa yang dilakukannya pada kucing tadi apalagi ini di lingkungan sekolah. Bagaimana kalau ada yang memergoki aksi biadabnya?

"Gemesin banget tuh kucing."

"Gemesin sih gemesin, tapi lo liat situasi dong. Gimana kalo ada yang liat?!"

"Napa? Lo takut gua ketahuan atau gak suka ngeliat gua nyiksa kucing?"

Aku kesulitan menelan ludah sekaligus kesulitan menjawab.

"Udahlah yuk cabut," ajaknya sambil merangkul bahuku akrab namun langsung ku tepis kasar karena merasa tak nyaman jika dia merangkul ku seperti ini apalagi di sekolah.

"Lo kenapa sih gak mau gua rangkul?"

"Ya lo kira-kira dong, ini kan sekolah bego."

"Terus lo maunya diapain? Di gampar?" cowok itu akan benar-benar menampar wajahku yang masih lebam jika saja tangan besarnya tidak secepatnya ku tangkis. Aku tidak mau dia mengacaukan make up ku yang sengaja ku pertebal demi menutupi lebam di pipi kiriku.

"Dirangkul gak mau, di gampar juga gak mau. Ah, gua tau, lo pengennya gua tidurin, kan?"

"Si monyet!" ku tendang keras bagian betisnya membuat cowok itu berdesis nyeri.

"Geblek lo!" umpatku jijik sekali jika dia sudah mulai berkata kotor seperti itu. Umpatan apapun yang terlontar dari mulut pedasnya mungkin masih bisa ku terima, tetapi jika sudah mengarah ke hal-hal yang mesum, aku takkan diam saja.

"Woi, Fai! Gue cariin kemana-mana ternyata lo disini."

Aku dan Rifai kompak menoleh pada seorang cowok yang tiba-tiba muncul dari arah belakang. Salman Albahar.

Dia teman sekelasnya Rifai. Lebih tepatnya sahabat.

"Lagi ngapain lo?"

"Abis skidipapap."

"Orang gila!!!" umpatku tak terima.

"Hahahaha ..."

Kedua cowok di hadapanku tertawa terbahak-bahak tanpa memperdulikanku yang terbakar api amarah.

Rifai kalau bicara memang selalu sembarangan. Terkadang moncongnya itu melontarkan kalimat yang menurutku keterlaluan. Tetapi hanya gurauan jenaka baginya.

"PSYCHOPLAK"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang