Tiga belas: Cubit

20 1 0
                                    

Sikapku ... sudah sangat keterlaluan, ya?

Jika memang benar, apakah aku harus meminta maaf pada Rizlan atas perilaku memalukanku tadi siang?

Tepat di sisi kolam ikan milik Tante ku, aku duduk melamun memikirkan tindakan ku tadi siang terhadap Rizlan.

Sungguh, aku sama sekali tidak menganggap fobianya sebagai sebuah lelucon. Tidak bermaksud meremehkannya. Aku hanya ingin menolongnya saja, mencoba membantu menyembuhkannya meski benar, aku bukan sesosok peri yang memiliki tongkat sihir maha dahsyat, bukan pula seorang dokter paling jenius di antara dokter lainnya.

Aku tidak tahu peristiwa menyedihkan apa yang telah terjadi dalam hidup Rizlan hingga dengan menatap matanya saja, tersirat keputusasaan yang teramat pelik. Tidak wajar.

Raut wajahnya yang dingin di selimuti aura mencekam itu seakan menyampaikan secara tak langsung bahwa dia kerap dirundung nestapa.

Anggap saja aku sebagai cewek yang sok tahu, tetapi demikianlah yang ku lihat setiap kali berjumpa dengannya.

Tidak sadarkah dia bahwa segala misteri yang dimilikinya itu membuatku penasaran setengah mati.

Membuatku tertantang untuk terus mengorek kisahnya lebih dalam.

Lamunanku buyar seketika tatkala terdengar dering ponselku yang tersimpan di dalam ransel.

"Halo," aku menyapa tanpa nada.

"Ra, lo dimana?"

"Ini siapa, ya?"

"Ini gue Pipit."

"Oh!" Aku langsung sepenuhnya tersadar dari lamunan ketika mengetahui siapa yang menelpon.

"Lo gak nge-save nomer gue?"

"Di save kok, gue bahkan punya nomer semua orang yang ada di kelas, cuma emang tadi gue gak liat nama siapa yang nelpon."

"Duh, gimana sih lo," omelnya. "Oya, lo dimana sekarang? Katanya mau ngerjain tugas?"

"Oh, tugas Biologi ya? Lo gak perlu khawatir, Pit, tugasnya udah beres kok, lo sama yang lain tinggal nyalin aja."

"Hah? Serius udah beres? Lo yang kerjain sendiri?"

"Iya."

"Kenapa gak ngajakin gue?"

"Udahlah gapapa kok, lagian udah beres juga."

"Sorry ya gue gak bantuin lo, Ra."

"Udahlah, Pit, gak masalah kok, kan gue yang sengaja gak ngajakin lo sama yang lain. Lagian tempatnya jauh banget, sih."

"Yaahhh ... ya udah deh, mau gimana lagi, kan? Tadinya gue pikir lo kemana, kok gak ngehubungin, sih? Pulang sekolah langsung ngilang gitu aja."

Aku tersenyum hampa.

Setelah telponan dengan Pipit, aku mengembalikan fokusku pada apa yang telah ku catat dalam buku. Rupanya, di dalam kolam ini hanya terdapat ikan mas yang berjumlah sekitar dua puluh ekor saja. Tidak ada jenis ikan lainnya.

Ini mengecewakan sih, tetapi ya sudahlah, yang penting tugasku selesai dengan baik.

Aku beranjak dari duduk sebelum kemudian Tante Arni muncul.

"Udah selesai bikin tugasnya, Ra?"

"Udah beres kok, Tante." Aku mengulas senyuman ceria. "Makasih ya Tante, berkat Tante, akhirnya tugas Zura beres, deh."

"Kamu nginep aja yuk di rumah Tante," tawarnya seraya menepuk bahuku. "Udah malem lho, Ra, kamu mau langsung pulang?"

"Zura mau langsung pulang aja, deh."

"PSYCHOPLAK"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang