Tujuh puluh: Jodoh untuknya

9 1 0
                                    

"Riz, malem ini lo ada acara gak? Jalan yuk!"

Melalui sambungan telepon, dengan penuh semangat aku mengajak Rizlan untuk pergi jalan-jalan disela kesibukan bekerja.

"Tumben lo ngajakin gue jalan," herannya.

"Menurut penelitian, terlalu memforsir diri buat kerja tuh bisa bikin stres, lho." Aku menginfokan. "Jadi gak ada salahnya dong kalo sekali-kali kita ngeluangin waktu buat jalan?"

"Iya, sih." sahutnya dari seberang sana.

"Lo lagi ngapain emang?" tanyaku.

"Ini gue lagi beres-beres. Rapihin alat-alat lukis."

"Oh, udah mulai ngelukis lagi lo? Hebat!" Aku menyanjung. Rizlan terkekeh kecil.

"Iseng aja, sih. Ngisi waktu luang."

"Ya udah pokoknya ntar malem lo gue tunggu ya di restoran Vitamin Sea. Jangan sampe gak dateng!" Aku menegaskan.

"Vitamin Sea?" beonya. "Gak mau gue jemput aja?"

"Nggak. Gak usah. Kita dateng sendiri-sendiri aja ntar." Tanpa memberinya kesempatan untuk banyak bertanya, aku terus nyerocos sebelum kemudian mengakhiri panggilan. "Udah dulu ya, kita ketemu jam tujuh. Bye."

Selesai menghubungi Rizlan, kini aku beralih menghubungi sahabat yang sudah seperti adikku sendiri. Rasiska.

Jika dahulu restoran yang ku kelola tidak menyediakan hari libur sama sekali, kini kebijakannya berubah. Aku meliburkan seluruh pegawai ku setiap hari sabtu agar setidaknya mereka yang dengan setia bekerja padaku bisa rehat sejenak, menikmati hari libur meski hanya satu hari.

Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini.

"Halo, Kak?"

Rasiska menerima panggilan dariku dengan sigap.

"Halo, Sis. Kamu lagi gak sibuk, kan? Gimana kabar Ayah kamu?"

"Alhamdulillah sekarang kondisi Ayah udah semakin membaik, Kak." sahutnya ceria. "Ayah udah keliatan sehat banget sekarang setelah operasi. Ini semua berkat Kak Zura. Seumur hidup saya berhutang sama Kakak. Makasih banyak ya, Kakak selalu ada untuk saya. Selalu menolong saya."

Ketika Rasiska mengabariku bahwa Ayahnya diharuskan untuk segera menjalani operasi bypass jantung, aku tanpa pikir panjang langsung menggelontorkan dana, menanggung biaya operasi Ayah Rasiska hingga kini beliau sudah mulai pulih sedikit demi sedikit.

"Gak masalah, Sis." ucapku. "Kamu gak perlu ngerasa berhutang. Toh saya ikhlas kok bantuin kamu. Yang paling penting sekarang Ayah kamu udah mulai pulih. Semoga aja kedepannya beliau selalu sehat ya, bisa beraktivitas kayak biasanya."

"Aamiinn ... mudah-mudahan, Kak."

"Oya, kamu lagi ngapain?" tanyaku kemudian.

"Um, ini, saya lagi ngegambar, Kak." sahutnya.

Aku ingat, kebetulan Rasiska memang tipe orang yang sangat menyukai seni. Sejak SD dia sering sekali menggambar pesawat terbang. Bahkan kamarnya sendiri dipenuhi gambar pesawat yang terpajang menghiasi dinding yang didominasi cat putih.

"PSYCHOPLAK"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang