Dua sembilan: Posesif

20 1 0
                                    

Mama melepaskan rangkulannya dariku, menyeka air mata yang menetes di pipiku tanpa sadar kalau wajahnya juga basah karena air mata.

"Maaf ya Ma, Zura udah kurang ajar sama Mama," ujarku lirih. "Zura sering ngebentak Mama—"

"Nggak, Nak." Mama menggeleng cepat, beliau mengapit kedua belah pipiku. "Mama yang harusnya minta maaf sama kamu, Mama nyesel banget ..."

"Zura juga nyesel banget Ma, Zura udah durhaka sama Mama ..."

"Semua itu sudah berlalu." pungkas Papa. Beliau tersenyum manis padaku. Membelai lembut puncak kepalaku. "Ini kan hari ulang tahun kamu, kita lupakan saja masa lalu. Kamu juga, Leony." Kali ini kedua netra Papa bergulir memandang hangat Mama. "Lupakan saja semuanya, yang lalu biarlah berlalu, lagipula lihatlah Zura sudah semakin dewasa sekarang, umurnya sudah tujuh belas tah—"

"Belum dong, Om." Olla menginterupsi obrolan antara aku dan kedua orangtuaku. Cewek itu mengangkat red velvet cake yang terletak di atas meja. Dia tersenyum ceria. "Zura baru resmi tujuh belas tahun kalo dia udah tiup lilin."

"Oh iya." Papa tersenyum sumringah. Beliau menyalakan dengan pemantik lilin berbentuk angka 17 di atas kue kemudian bernyanyi dengan gembira di ikuti teman-temanku yang juga bernyanyi dengan penuh semangat membuat riuh ruangan yang dipenuhi puluhan balon ini.

"Happy birthday to you ...

Happy birthday to you ...

Happy birthday ...

Happy birthday ...

Happy birthday to you."

Sepanjang mereka bernyanyi, aku hanya terus membekap kedua telingaku, geli mendengar nyanyian tersebut.

"Kok lo tutup kuping, sih?" Hanya Rizlan lah satu-satunya cowok kalem yang tidak ikut bernyanyi.

"Kekanak-kanakan issh." Bibirku mengerucut macam bebek, namun hatiku sesungguhnya bahagia.

"Ini nyanyian gembira, lho!" seru Olla.

"Iya, kamu ini gimana, sih?" protes Papa.

"Udah lah, Zura langsung tiap lilin aja ya Pa, biar cepet." Aku bernegosiasi. Papa tergelak.

"Ya sudah, ayo tiup lilin."

Olla membungkuk mempersilahkan ku untuk tiup lilin. Aku memejamkan mata berdoa dalam hati.

Hanya satu permintaanku, Ya Tuhan.

Sembuh.

Aku ingin sembuh.

Aku ingin bisa berjalan lagi.

Aamiin.

Ku padamkan nyala api dari lilin angka tujuh belas hanya dalam satu tiupan saja. Manusia-manusia yang berada di ruangan ini bertepuk tangan dengan sangat meriah.

"Selamat ulang tahun ya, sayang." Papa bercangkung tepat di sisi kanan kursi roda yang ku duduki. "Dengan bertambahnya umur kamu, Papa berdoa semoga hidup kamu selalu dilimpahi kebahagiaan, dan Papa berdoa semoga kamu jadi anak yang sukses."

Papa mengakhiri ucapannya dengan sebuah kecupan gemas di pelipisku membuatku menghapus bekas jejak kecupannya karena malu dilihat oleh orang-orang yang berada di ruangan ini.

"Makasih, Pa." Aku meringis tak nyaman.

"Zura." Mama membungkuk. Mengusap lembut pipiku dihiasi senyuman hangat. "Selamat ulang tahun, ya. Semoga setiap napas yang kamu hirup dan yang kamu hembuskan menjadi sebuah anugerah untuk kehidupan yang lebih berkah. Mama berdo'a semoga Tuhan selalu memberi kesehatan untuk kamu. Mama udah denger semuanya dari Papa kamu tentang kondisi kamu, Nak." senyumannya seketika memudar berubah sendu. "Maaf ya, Mama baru tau."

"PSYCHOPLAK"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang