Tujuh empat: Pamit

10 1 0
                                    

Suasana terkesan mewah di malam hari dengan warna gold dari lampu yang menerangi bangunan megah yang saat ini ku huni.

Terdapat dinding kaca transparan disamping rumah yang membuat kesan mewah. Kolam renang dan rumput hijau yang berada disampingnya juga menambah rasa nyaman dan tampak asri. Di malam hari terlihat kesan elegan dengan lampu-lampu yang menyorot di batas air.

Rifai ...

Cowok itu tengah duduk menyendiri di atas kursi malas samping kolam renang. Tampak sedang merenung entah memikirkan apa.

Jarak yang memang cukup jauh dari kediaman kami membuat pada akhirnya memutuskan untuk menginap satu malam disini. Tante Lestari sendiri yang meminta kami untuk menginap saja, lagipula hari sudah larut.

"Fai."

Kusapa dengan nada tenang cowok itu yang kini menoleh ke arahku dengan sorot dingin mengalahkan dinginnya air dalam kolam.

"Gue seneng banget lo mau gue ajakin kesini."

Aku mengambil duduk tepat di atas kursi santai yang terletak di samping kursi yang di duduki Rifai.

"Bukan diajak, tapi diculik," sewotnya. "Kalo dari awal tau bakal diajak kesini, ya gua gak bakal mau lah."

"Ya udah sih, toh sekarang kita udah disini, gak usah nyesel gitu kali."

Cowok itu hanya mendelik sinis sebagai tanggapan.

"Fai, gue seneng banget lho tadi waktu lo mau nyobain masakan buatan nyokap lo."

Meski tidak meledak-ledak seperti dahulu setiap kali aku menyinggung soal Ibunya, tetap saja terlukis raut tak suka di wajah Rifai. Dia masih membenci Ibunya. Tetapi aku tidak akan menyerah. Sebesar apapun rasa benci itu, aku akan berusaha meluluhkannya. Sudah cukup. Kebenciannya harus segera sirna. Akan kubuat anak pembangkang itu menjadi anak yang berbakti terhadap orangtua.

Meski aku sendiri bukanlah anak yang sempurna, tentu saja aku pun akan selalu dan masih terus berusaha memperbaiki segala kekurangan ku agar layak menyandang gelar anak berbakti, bukan demi diakui dunia, tetapi hanya untuk diterima kedua orangtuaku.

"Fai, lo ... masih sebenci itu sama nyokap lo meskipun lo tau 'kebenarannya'?"

Selama ini memang Rifai bukannya tidak tahu. Bukan sekali dua kali Bagas menjelaskan tentang 'alasan' kenapa dulu Tante Lestari pergi begitu saja meninggalkannya.

Bukan sekali dua kali Bagas menjelaskan bahwa Ibu mereka benar-benar terpaksa melakukan itu. Semua itu jelas karena ulah Ayah mereka sendiri. Om Prakasa lah yang telah membuat istrinya terpaksa pergi. Om Prakasa lah dalang dibalik segala peristiwa yang terjadi. Maka tidak seharusnya Rifai melampiaskan amarahnya kepada sang Ibu.

Rifai tahu semuanya. Namun dia seolah-olah menolak fakta tersebut.

Mumpung si makhluk barbar sedang dalam mode tenang, kuberi petuah dia.

"Fai, lo tau nggak? Selama sembilan bulan Ibu mengandung dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah. Menyusui selama dua tahun lamanya."

Pikiranku menerawang mengingat jasa seorang Ibu. Tak ternilai perjuangan seorang Ibu yang telah mengandung, melahirkan, hingga merawatku selama ini.

"PSYCHOPLAK"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang