Tadi, dengan amat sangat terpaksa, aku menuruti ajakan ... ralat, aku mematuhi perintah Rifai untuk diantar pulang olehnya. Namun, tak satu pun di antara kami yang membuka suara di sepanjang perjalanan menuju kediamanku. Larut dengan pikiran masing-masing.
Duduk dibalik stir, Rifai fokus mengemudi. Sedangkan di jok samping kemudi, sambil cemberut, aku hanya terus memandang keluar jendela.
Mungkin efek lelah bertengkar atau apa, aku sepertinya tertidur di dalam mobil sepanjang sore. Sadar-sadar, aku sudah terbaring nyaman di atas tempat tidurku yang empuk, masih mengenakan pakaian lengkap yang sepanjang hari melekat di tubuhku. Tahu-tahu langit sudah gelap. Tak ada satu pun orang yang membangunkan ku.
Tok tok tok ...
"Non? Non Zura?" panggilan lembut Mbok Yeyen membuatku sepenuhnya tersadar. Secara perlahan tubuh ini bangkit dari posisi berbaring lantas membuka pintu.
"Mbok, kok baru bangunin saya?" tanyaku seraya mengucek pelan mata. "Mbok kan tau sendiri, kalo saya ketiduran pas sore, kalo Mbok liat, langsung bangunin. Pusing kepala saya kalo ketiduran abis ashar." ART ku nasihati dengan bahasa yang santun berharap ia tidak kembali melakukan kesalahan ini di kemudian hari.
"Maaf, Non." ucapnya tampak merasa bersalah. "Tadinya mau langsung Mbok bangunin pas liat Non Zura di anter kesini, tapi ..."
Celingukan, rumah tampak sepi sekali.
"Papa mana?" tanyaku tanpa mendengar penuturan Mbok Yeyen sampai selesai.
"Oh, Tuan belum pulang, Non." jawabnya seraya menunduk hormat padaku.
"Lho, kalo Papa belum pulang, terus, yang gendong saya ke kamar, siapa?" kernyitku heran. Kamar ku kan di lantai atas. Siapa yang mengantarku kesini?
"Oh, itu Non, kalau gak salah namanya Den Rikai ... eh, Den Rifai ..."
Tercenung selama beberapa detik. Setelah bertahun-tahun lamanya, Rifai kembali menginjakkan kakinya di kediamanku. Dia bahkan sampai membopongku hingga ke kamar.
Bagaimana ya perasaannya?
Mungkinkah dia bernostalgia?
"Oh, Rifai ..."
"Oya, kalau boleh tau, Den Rifai itu siapa ya, Non? Mbok baru pertama liat ..."
"Oh, bukan siapa-siapa, kok. Cuma manusia yang kebetulan lewat pas mobil saya mogok di jalan." Bola mataku berputar malas. "Kenapa emang, Mbok? Dia galak, ya? Emang gitu kok orangnya. Gak jauh beda garangnya sama pitbull."
"Ma-masa sih, Non? Justru yang Mbok liat tadi kebalikannya."
"Hah? Maksud Mbok?" kernyitku tak paham.
"Waktu Mbok mau bangunin Non Zura, Den Rifai langsung ngelarang, katanya biarin aja tidur, mungkin Non Zura nya kecapean, gitu katanya, Non."
Aku mendelik sinis mendengarnya. Tahu juga dia kalau aku kecapean. Lelah luar biasa efek ribut dengannya di tengah jalan macam orang gila. Bahkan tenggorokan ku terasa sakit saking terlalu banyak menjerit macam wanita yang kerasukan jin.
"Abis nganterin saya ke kamar, dia langsung pulang?" tanyaku kemudian.
"Ng-nggak, Non."