Enam belas: Gelud

7 1 0
                                    

Tidak ku sangka, Rizlan akhirnya menyetujui permintaanku yang mengajaknya untuk mengikuti ekskul Palang Merah Remaja.

Setelah mendaftarkan diri secara langsung pada ketua PMR, disinilah aku. Duduk tenang di ruangan ekskul ber-cat putih bersama Rizlan yang sedari tadi terlihat resah dan gelisah.

Mungkin karena di ruangan ini banyak siswa dari berbagai kelas serta jurusan yang tidak dikenal, cowok introvert itu tidak nyaman kali, ya?

"Selamat sore semuanya!"

Pak Aris, pembina PMR berusia sekitar empat puluhan itu menyapa dihiasi senyuman ramah merekah.

"Soreeee... Paakkk..." jawab siswa-siswi serempak.

"Gimana kabar kalian semua? Sehat, kan?"

"Sehat... Paakkk..."

"Syukurlah," tutur Pak Aris. "Nah, karena tadi pagi ada sekitar sepuluh siswa yang baru mendaftar untuk mengikuti ekskul ini, Bapak akan kembali menjelaskan tentang visi-misi ekskul PMR."

"Visinya antara lain; menjadikan ekstrakurikuler PMR lebih tangguh, mampu tumbuh dan berkembang, tolong menolong dan mendorong adanya perubahan yang lebih baik. Juga menjadikan anggota PMR yang baik dalam berpikir, bijak dalam bertindak, menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila dan memahami serta mengamalkan tujuh Prinsip Dasar Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional."

"Sampai sini kalian paham, kan?"

"Iyaaa... Paakkk..."

"Sekarang Bapak akan menyampaikan tentang misinya." Pak Aris kembali menjelaskan. "Yang pertama, mengelola PMR secara efisien untuk kepentingan bersama. Kedua, menciptakan kinerja yang lebih baik dalam bentuk apresiasi dan dedikasi dari setiap siswa-siswi dalam menjalankan dan melaksanakan kegiatan PMR tersebut. Ketiga, memberikan kesempatan bersosialisasi pada lingkungan sekolah dan masyarakat. Keempat, menjadikan PMR sebagai organisasi yang eksis dalam perkembangannya dengan membawa nama baik sekolah. Yang terakhir, menjadi relawan yang disiplin ilmu, disiplin akhlak, disiplin waktu, dan mewujudkan PMR yang mempunyai rasa kemanusiaan yang tinggi."

Siswa-siswi yang hadir di ruangan ini menyimak dengan seksama apa yang dijelaskan oleh Pak Aris. Sesekali, mereka sibuk mencatat.

"Baiklah, sekarang Bapak akan menjelaskan tentang sejarah PMI dan PMR beserta prinsip-prinsip palang merah."

Bukannya menyimak lelaki yang sedang berbicara di depan, aku malah lebih tertarik memperhatikan cowok yang duduk tepat di sebelahku.

Dia duduk tegak dengan sorot dinginnya. Sedangkan aku duduk menopang dagu sembari menyorotnya secara diam-diam dengan ekor mata.

Ketika Rizlan balas menatapku, aku buru-buru memalingkan wajah berpura-pura sedang menyimak penjelasan Pak Aris. Akan tetapi, ketika Rizlan kembali meluruskan pandangannya ke depan, ekor mataku kembali meliriknya.

Rizlan ... tidak terpaksa kan masuk ekskul ini?

"Jangan lupa!"

Aku terhenyak sekaligus tersadar ketika suara bariton menginterupsi lamunanku.

Entah sudah berapa lama Pak Aris berbicara, aku sama sekali tidak menyimaknya.

Celingukan, kulihat semua orang yang berada di ruangan ini tengah mempersiapkan diri untuk pulang.

"Nanti kita berkumpul lagi setiap seminggu sekali yaitu di hari senin setiap sepulang sekolah. Agar tidak ketinggalan, Bapak harap kalian mengikuti kegiatan PMR ini dengan rajin dan mohon jangan ada yang bolos, karena mulai minggu depan kegiatan kalian akan lebih banyak, mendalam, dan juga lebih seru lagi pastinya. Kalian mengerti?"

"PSYCHOPLAK"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang