Lima tujuh: Bahaya

5 1 0
                                    

"Selamat ulang tahun ya, Nak. Semoga panjang umur." Laki-laki berkumis tebal dengan rambut sudah sepenuhnya memutih itu mengusap lembut puncak kepala cucu satu-satunya yang tersenyum manis padanya.

"Makasih, Opa."

"Jangan pernah menghitung banyaknya lilin, tapi lihat cahayanya. Jangan perhitungkan usianya, tapi nikmati momennya. Selamat ulang tahun cucu kesayangan Oma."

Wanita dengan rambut sanggul itu mengecup kening sang cucu secara paksa. Rizlan menoleh malu padaku yang justru cekikikan melihatnya tampak risih, namun Oma dengan gemas terus mengecup wajah Rizlan, mengecup kedua matanya, pipi, juga hidungnya, berulang kali.

"Oma!" Dengan nada protes, Rizlan sedikit menajamkan sorot matanya pada wanita yang meskipun sudah tak muda lagi, tetapi masih terlihat sangat cantik. Beliau duduk tepat disamping cucunya yang pipinya masih nampak bersemu merah.

"Kenapa?" kernyit Oma. "Dari dulu pun Oma selalu cium kamu seperti ini, kan?"

"Ya tapi kan itu dulu, Oma. Sekarang aku bukan anak kecil lagi."

"Di mata Oma, kamu tetaplah bayi mungil Oma yang lucu." Oma mencubit manja kedua pipi cucunya yang tak kuasa melawan dan hanya bisa meringis saja.

"Rizlan ini waktu kecil anaknya ceria banget, lho." Menatapku, Oma mengajak kami semua bernostalgia. "Dia ini anak yang sangat imut. Oma senang sekali melihat kamu kembali ceria seperti dulu, Nak. Oma benar-benar bahagia." Oma tersenyum manis mengusap lembut pipi sang cucu. Namun kedua matanya tampak berkaca-kaca.

Mendengar ucapan Oma, Rizlan mengulum senyuman tipis seraya menunduk.

"Semua ini berkat kamu, Zura ..."

Mendongak cepat aku mendengarnya.

"Kamulah yang selama ini gak pernah berhenti mendukung Rizlan. Selalu ada untuknya. Menjadi penyemangat hidupnya. Ucapan 'terimakasih' saja belum cukup rasanya untuk membalas semua kebaikan kamu. Tapi meskipun begitu, terimakasih ya, sayang."

Oma tersenyum tulus ke arahku yang duduk di sofa yang bersebrangan dengannya. Disamping tempatku duduk, Opa mengusap lembut puncak kepalaku, membelai lembut rambutku.

"Benar. Semua ini berkat kamu, Nak. Terimakasih banyak sudah mengembalikan Rizlan kami yang dulu," ujarnya. "Bagi keluarga kami, kamu merupakan berkat."

Aku tak dapat menjawab selain hanya melempar senyuman tulus sebagai tanggapan.

Aku melakukan semua ini ikhlas atas keinginanku sendiri yang memang selalu tak tega melihat orang-orang yang terlihat memiliki masalah besar dalam hidupnya. Selayaknya manusia, niatku hanya menolong berharap bisa membantu menyelesaikan masalah tersebut dan setidaknya bisa meringankan beban orang yang aku tolong.

Aku selalu ingin membantu semua orang meski dengan kemampuan tak seberapa ini ...

Aku ingin terus menolong meski benar ... aku bukan malaikat.

"Ehemm ..." Untuk mencairkan suasana, aku berdeham.

Ku raih sesuatu dari balik sofa besar yang ku duduki untuk kemudian diberikan pada Rizlan yang di bulan Desember ini berulang tahun yang ke-25. Secara tak langsung mengingatkan ku juga bahwa kami sudah semakin dewasa. Bukan anak sekolah yang masih bisa bebas main seperti dulu.

"PSYCHOPLAK"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang