Beberapa minggu dirawat, aku kini sudah bisa kembali bersekolah. Luka di keningku berangsur pulih. Begitupula Rizlan. Dia sudah sembuh.
Kami menjalani hari-hari di sekolah dengan ceria.
Ya ... semuanya sangat menyenangkan sebelum kemudian makhluk biadab yang tak diundang kehadirannya tiba-tiba muncul ke dalam kelasku lalu menggebrak meja. Sontak, semua pasang mata tertuju padanya.
Rifai merupakan sesosok monster. Itu bukan rahasia lagi. Siswa-siswi di seantero sekolah sudah mengetahuinya. Terlebih teman-teman sekelasku. Mereka sudah sangat hafal akan tabiatnya. Inilah alasan kenapa beberapa orang memutuskan untuk menyisih, menghindar, tak ingin ikut campur saat makhluk yang terkenal barbar itu muncul dipenuhi kobaran api panas yang menyambar membuat semua orang menjadi gentar.
"Gua mau ngomong sama lo."
Aku melipat kedua tangan di dada. Mendelik sinis.
"Gak mau tuh."
Cowok itu mendecakkan lidahnya. "Ikut gua cepet!"
Entah mungkin karena refleks, Rizlan yang duduk di bangku sisi kananku berdiri seraya menggebrak meja melihat cowok yang dengan lancang hendak menyeretku pergi padahal tahu betul bahwa aku lumpuh. Bagaimana bisa aku berlari mengekorinya saat kini aku sudah cacat? Berdiri saja masih membutuhkan bantuan tongkat.
"Lepasin!"
Aku berusaha mengurai genggaman ekstrem yang membelenggu tanganku dengan kencang. Namun nihil.
"Lepasin, Rifai, lepasin ..."
Tak peduli meski kini aku merengek, cowok itu tidak menyerah.
"Gak bakal gua lepasin, kecuali lo ikut sama gua!"
"Ya udah buntungin tangan gue, Rifai! Bawa pergi tangan gue kalo lo mau!" Aku berteriak gusar. Anak setan memang tidak bisa disabarin. Harus selalu ku teriaki dengan lantang. Barulah dia menurut patuh.
Mungkin kaget atau apa, Rifai melepaskan genggaman tangannya dariku. Dia mengalihkan pandangannya. Matanya mengerling. Napasnya memburu.
"Bukannya lo sendiri yang bilang kalo lo gak bakal nyiksa gue lagi? Lo sekarang ngejilat ludah lo sendiri, Fai? Lo gak bisa nepatin janji lo sendiri, kan?" Aku mengukir seringai mencela. "Udah gue duga. Omongan lo emang gak bisa dipercaya."
"Gua megang tangan lo kek gitu doang, lo sebut 'nyiksa'?"
"Liat sendiri!" Aku berteriak. Ku tunjukkan tanganku yang tadi di genggam Rifai. Cowok itu nampak terkejut melihat hasil perbuatannya yang mungkin menurutnya sepele, tetapi tanpa dia sadari telah meninggalkan bekas memerah yang sangat jelas di pergelangan tanganku. Bekas cengkeramannya.
Aku menjadi pusat perhatian di dalam kelasku sendiri. Siswa XI IPA 2 sudah hadir semua. Tetapi, karena hafal betapa berbahayanya amukan si sulung Prakasa itu, tak ada satupun yang berani menegur meski mereka tak tega padaku.
"Ninggalin luka di tangan juga termasuk 'siksaan'!"
Rifai mengukir seringai kecut. "Sumpah ya, cengeng banget sih lo sekarang. Beda banget sama dulu."
"Terserah lo mau ngomong apa. Pergi sekarang juga!" Ku usir dia. "Jangan ngerusuh di kelas orang!"
Aku memalingkan wajah. Olla yang duduk tepat disamping kiriku tidak berminat ikut campur. Begitupula Rully dan Henry. Mereka mungkin tidak mau melerai karena khawatir dianggap akan memperkeruh suasana. Terlebih yang berdiri di hadapan mereka ini merupakan sosok monster yang tak kenal ampun.