Lima delapan: Bioskop

7 1 0
                                    

Rifai tiba tepat waktu. Mobilnya sudah stay di parkiran tatkala aku baru saja keluar dari restoran.


"Tau mau diajak jalan kenapa kerja, sih? Gua jadi harus jauh-jauh jemput lo kesini bukannya ke rumah lo."

"Jam berapa sekarang?" Aku mengabaikan ocehannya barusan.

Rifai melirik arloji mewah yang terpasang di pergelangan tangannya.

"Jam delapan lewat lima menit."

"Sesuai ajakan lo kemarin, kita berangkat jam delapan, kan? Jadi kenapa lo ngeluh? Toh yang penting gue udah ada disini kan nemuin lo."

Sudut mulut Rifai terangkat sinis. Ia mendengus jengah.

"Padahal kemarin udah janjian, kenapa masuk kerja segala elah."

Ku dengar Rifai bergumam.

"Lho, chef Zura? Chef udah mau pulang?"

Mendengar ada yang memanggil, refleks aku berbalik. Rifai juga tidak jadi masuk mobil dan ikut membalikkan badannya menatap ke arah dua orang laki-laki berseragam koki.

Rafly dan Zildan.

Entah habis darimana dua orang itu setelah tadi izin hendak istirahat makan malam, tetapi tahu-tahu sudah berkeliaran di sekitar parkiran yang dipenuhi berbagai kendaraan serta orang-orang yang tengah asyik nongkrong di teras restoran.

Belum sempat bertanya habis dari manakah mereka, Rafly tiba-tiba terkekeh kecil setelah menatap aku dan Rifai secara bergantian.

"Dia siapa, chef?" Rafly menunjuk tak sopan ke arah Rifai yang berdiri bingung menatapnya. Keningnya mengkerut.


"Iya juga ya, yang sering jemput chef Zura pulang kerja siapa dong?" kali ini Zildan yang bertanya. "Hubungan chef Zura sama dia juga apa?" tunjuknya pada Rifai. "Udah dua kali saya ngeliat dia jemput chef. Kayaknya kalian deket banget, deh."

Aku tertegun sesaat. Memikirkan jawaban yang tepat. "Yang biasa jemput saya itu Rizlan. Sahabat saya. Kalo dia—"

"Bukan urusan kalian," sela Rifai ketus. "Bisa gak usah ngusik privasi orang?"

Aku terhenyak. Menoleh menatap Rifai yang memberi kedua koki di hadapan kami sorot tajam. Nada suaranya tadi amat dingin.

Rafly dan Zildan saling menubruk bahu. Terlihat ngeri pada wajah tidak bersahabat yang ditunjukkan cowok jangkung di hadapan mereka.

"Um, ehemm ..."

Ku dengar Rafly berdeham.

"Bukan apa-apa ya, chef. Saya gak bermaksud ikut campur, kok." elaknya. "Tapi jujur aja, di jemput cowok secara bergantian kayak gini, apa chef gak berpikir kalo chef keliatan kayak playgirl?"

Duagh!

Tidak main-main. Meski terdapat banyak sekali pengunjung yang memenuhi restoran hingga ke teras, Rifai dengan kecepatan ekstrem tanpa pikir panjang langsung menghantam pelipis koki di hadapannya kemudian ia tarik lantam kerah seragamnya.

"PSYCHOPLAK"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang