Menyusuri koridor, aku berjalan beriringan dengan wali kelasku saat tadi kami berpapasan secara kebetulan.
"Di kelas kamu masih ada yang gak aktif ikutan ekskul?"
Aku berpikir sejenak, "Gak tau Pak, kayaknya harus saya survei dulu, deh." Aku berbicara sangat santai dengan Pak Najib yang kalau dari usia, tak jauh berbeda dengan Papa.
"Kamu sendiri ..."
Aku menoleh.
"...ikutan ekskul gak?"
Aku cengir, "Nggak Pak, Hehe ..."
"Lho, kamu ini gimana, sih? Seharusnya sebagai ketua kelas kamu perlihatkan contoh yang baik dong buat temen-temen kamu sebagai murid yang aktif."
Aku hanya merespon ceramah Pak Najib dengan senyum tak nyaman.
"Dulu waktu SMP, kamu ikut ekskul apa?"
"Karate, Pak." jawabku mantap. "Tapi cuma sampe sabuk kuning, sih. Waktu itu saya keburu di sibukkin sama musim ujian Pak, jadi secara otomatis, gak saya terusin deh ekskulnya. Sayang banget sih sebenernya, tapi saya bener-bener gak ada waktu."
Aku bercerita dengan jujur pada Pak Najib bahwa memang dulu aku sempat mengikuti ekskul bela diri saat masih di bangku sekolah menengah pertama.
"Oh gitu." Pak Najib manggut-manggut. "Saya baru tau kalo ternyata kamu dulunya pernah ikutan ekskul bela diri."
Aku terkekeh kecil, "Ya gitu deh, Pak."
"Menuju semester dua nanti, sekolah ini mewajibkan semua siswa untuk mengikuti setidaknya satu ekstrakurikuler. Jadi, kamu juga harus cepet nentuin mau ikut ekskul apa." Pak Najib berbicara dengan nada tenang. Beliau memang tipe orang yang pembawaannya kalem, tetapi akan sangat seru, gokil, serta asyik sekali saat di ajak bercanda. Bisa dibilang, beliau merupakan salah satu guru tergaul.
"Gimana ya, saya gak ada minat buat ikutan ekskul, Pak." jujurku kalem.
"Terus apa minat kamu?" kernyitnya.
"Merajai ranking satu!" seruku mantap dengan kepalan tangan terangkat menunjukkan semangat 45.
"Tapi ekskul itu bisa ngebantu banget lho buat meningkatkan nilai kamu. Meskipun semua guru sudah tau kalau kamu anak yang cerdas, tapi masa kamu gak tertarik sama sekali buat ikutan ekskul?"
Aku memonyongkan bibir seraya berpikir.
"Kamu pasti punya cita-cita, kan?" tanyanya kemudian. Aku semakin dibuat berpikir.
"Saya gak punya cita-cita, Pak." Aku menggeleng polos.
"Wah dasar ... masa ada anak yang gak punya cita-cita, sih? Kamu ini penerus bangsa, lho! Semua orang itu harus punya cita-cita. Kamu gak berencana lulus sekolah untuk jadi pengangguran, kan?"
"Ya gak gitu juga kali, Pak." Aku mencibir. "Nanti lulus sekolah saya mau lanjut kuliah, kok."
"Terus, mau masuk jurusan apa kamu nanti?"
Aku menggidikkan bahu, "Belum nentuin."
"Walah?" Pak Najib terkesiap membuatku ikut terhenyak juga.