Tiga enam: He is mongkey

4 1 0
                                    

"Hei!" Ku rasakan seseorang menepuk bahuku penuh semangat.

"Hei," sapaku saat mengetahui bahwa yang menepukku barusan adalah sahabatku.

"Hari ini ada ulangan gak, sih?"

"Gak ada," sahutku.

"Tapi lo pasti tetep belajar dong?"

"Iya dong, Haha ..."

Aku dan Olla terkekeh bersamaan.

"Oya, nanti sore kita jengukin si Rizlan lagi yuk!"

"Ayo!" sahutku antusias.

"Eh, tapi ... hubungan lo sama si Rifai gimana sekarang?"

Mendapat pertanyaan tersebut, aku menunduk sendu. "Gue sebenernya udah mutusin dia, La."

"Hah? Lo serius?" Olla terbelalak kaget. "Lo mutusin dia?"

Aku memalingkan wajah. Untuk alasan yang tidak aku ketahui, ada sesuatu yang aneh di dalam sini. Di dalam hati. Aku yang memutuskan hubungan, tetapi kenapa aku yang galau?

"Gua tau, si Rizlan suka sama lo. Dia ngelimpahin lo kasih sayang. Beda sama gua yang justru lebih sering ngasih lo penderitaan."

"Kalo emang sekarang lo udah bukan masokis lagi, gua bakal berenti mukulin lo."

"Gua bisa memperlakukan lo seribu kali lipat jauh lebih baik daripada si Rizlan."

Kemarin, setelah Rifai mengucapkan itu, tak ada sepatah katapun kalimat yang meluncur dari mulutku saking shock-nya mendengar cowok yang biasanya tidak pernah berpikir dulu tiap bertindak, tetapi kemarin mengingat dosanya.

Yang lebih mengejutkan lagi, cowok itu menuturkan bahwa dia tidak akan memukuliku lagi dan bahkan dia akan memperlakukan ku jauh lebih baik daripada Rizlan.

Masih ada keraguan dalam hatiku. Hari ini pun bahkan aku masih berusaha mencerna makna dari tiap kata yang terucap dari mulut pedasnya.

Apakah benar Rifai mau berubah?

Disatu sisi aku ingin percaya, namun disudut hatiku yang lain, pernyataan cowok itu terlalu terdengar bulshit.

Rifai itu memiliki gangguan mental yang disebut dengan 'sadisme'. Perilakunya kejam, ganas, dan terlampau kasar. Secara psikologis, cowok itu mendapat kepuasan dengan cara menyakiti, melukai, serta mempermalukan orang lain.

Sangat mustahil jika cowok yang sejak sangat kecil sudah diperkenalkan dengan kekerasan itu rela berubah hanya demi cewek sepertiku?

Padahal adakalanya dia memanggilku 'guk'. Pasti aku ini seekor anjing kan baginya?

Kemarin, meski aku tidak berkata apa-apa dan memutuskan untuk pulang saja, Rifai hanya mendengus. Cowok itu membantuku keluar dari huniannya memastikan aku selamat. Dia mengantarku hingga aku masuk ke dalam mobilku yang terparkir cukup jauh tanpa diketahui Ayahnya. Om Prakasa.

"Ra? Lo serius?" Olla masih nampak tak percaya.

Aku menghela napas berat sebelum kemudian mengangguk dan mengatakan, "Iya, La. Meskipun dari awal gue gak nganggep dia pacar, tapi gue harus mutusin dia dong kalo gue pengen lepas dari belenggunya. Lo tau sendiri kan dia se-posesif apa? Gue ngerasa tertekan."

"PSYCHOPLAK"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang