•••
"Zura, Mama pengen kamu tinggal sama Mama, Nak."
"Sama Mama ... terus sama selingkuhan Mama juga?" Aku mengukir seringai sinis. "Nggak deh, makasih."
Baru saja pulang sekolah, aku sudah disambut oleh wanita yang baru kemarin resmi bercerai dengan Papa.
Mengenakan seragam putih-biru, di usiaku yang baru menginjak tiga belas tahun, kamus hidupku sudah diisi berbagai kosa kata penuh umpatan. Dan segala umpatan itu tak segan-segan ku lontarkan pada wanita yang dengan tak tahu malunya berselingkuh dibelakang suaminya lantas lebih memutuskan untuk memilih lelaki lain yang lebih muda.
Keesokannya sama.
Tepat ketika aku baru saja tiba di depan rumah sehabis pulang sekolah, wanita itu lagi-lagi menungguiku pulang seperti kemarin tepat di depan gerbang. Pasti hari ini dia juga ingin membawaku untuk ikut bersamanya, kan?
Merebutku dari Papa.
"Zura ..."
Dengan wajah memelas minta dikasihani, wanita itu mengangkat tangannya ingin menggapaiku. Namun, dengan tangkas, aku buru-buru mundur menghindar.
Bahkan, untuk disentuhnya sedikit saja, aku tidak sudi.
Wanita yang dahulu tak pernah lelah memandikanku, menyuapiku, menggantikan popok, dia kini tak lebih hanya sekedar sosok pengkhianat. Bukan seorang Ibu.
Kenapa harus ada hari Ibu ketika Ibu yang ku punya lebih terlihat seperti orang asing daripada orang yang melahirkanku?
Ingin sekali ku lontarkan dengan keras secara langsung di depan wajahnya bahwa aku sangat-sangat menyesal telah lahir dari rahimnya.
Kenapa hidupku tidak senormal orang lain yang memiliki Ibu yang baik?
Berulangkali, aku terus mengucapkan kalimat yang sama dalam hati.
Dia Ibu yang gagal. Dia tidak termaafkan.
Saat masih bersama, aku kerap melihat dan mendengar Papa bertengkar dengan wanita itu mendebatkan segala sesuatu yang sebenarnya hal yang kecil tetapi mereka besar-besarkan.
Aku sama sekali tak dapat mengerti pemikiran orang-orang dewasa.
Mereka memiliki perbedaan pendapat tentang pola mengasuh anak.
Papa yang memiliki watak keras kepala serta tegas, dan Mama yang juga sama-sama keras kepala. Tentu saja jika sedang ribut, keduanya bagai dua orang yang saling menumpahkan bensin ke arah kobaran api dan akhirnya meledak.
Papa yang sibuk bekerja sebagai fresh graduate dan jarang sekali pulang, sedangkan Mama yang bekerja sebagai notaris juga jarang di rumah. Membuat mereka yang sekalinya bertemu, maka akan langsung saling meneriaki satu sama lain. Meskipun pertengkaran itu mereka lakukan di dalam kamar pribadi mereka, tetap saja aku bisa mendengarnya dengan jelas.
Papa meminta agar Mama berhenti bekerja dan fokus menjadi Ibu rumah tangga yang baik demi mengurus anak, sedangkan Mama memiliki prinsip sendiri. Sebagai wanita karir, Mama merasa dikekang. Mama merasa seluruh pergerakannya dibatasi.