Tak satu pun pertanyaan Bagas ku jawab.
Dengan gusar, aku hanya terus memasukkan pakaianku ke dalam koper. Aku memang tidak berniat berlama-lama disini. Jadi hanya ada beberapa helai pakaian saja yang ku keluarkan dari koperku.
"Bagas minta maaf Kak, seharusnya Bagas ngasih tau yang sebenarnya, Bagas gak tau kalo Kakak bakal semarah ini ..."
Tidak menjawab, aku hanya terus memasukkan pakaianku kedalam koper dengan tergesa-gesa. Tak sanggup tinggal disini lagi barang sedetikpun.
"Kak Zura? Bagas bener-bener minta maaf, Kak."
Tak sedikitpun aku menolehkan kepala pada cowok yang tadi mengejarku seraya terus memanggil-manggil namaku dengan nada rasa bersalah. Namun aku terus mengabaikannya. Tak memperdulikannya yang terus berteriak seraya berlari mengejarku.
Tidak. Aku tidak marah padanya. Tetapi justru aku marah pada diri sendiri yang dengan bodohnya menyiapkan segala sesuatu dengan hati berbunga-bunga demi menemui seseorang yang ternyata telah dimiliki orang lain. Telah menjadi kepunyaan orang lain.
Aku dengan tololnya mengunjunginya kesini.
Aku dengan idiotnya, demi Rifai, rela membohongi keluargaku sendiri.
"Bego, bego, bego!"
"Kak Zura, hei!"
Melihatku yang kini terus-menerus menjambak kuat rambutku sendiri di atas tempat tidur, Bagas bergegas menghampiriku, menolongku yang kini tengah kalut. Cowok itu menggenggam kedua tangan yang ku gunakan menyiksa diri saking kesalnya.
"Kak, hei, berenti, Kak."
Masih menangis dengan sedihnya aku saat Bagas kini berhasil mencengkram kuat kedua tanganku yang terus gemetar. Tak tahan lagi. Rasanya aku ingin menampar pipiku sendiri yang dengan tak tahu malunya telah menampakkan wajah di depan seorang cowok yang sungguh ku rindukan, tetapi rupanya cowok itu sudah memiliki teman hidup.
"Kakak ini idiot, kan?"
"Apa?" Bagas mengernyit tak paham.
"Tadinya, Kakak dateng kesini dengan niat pengen ngomelin Rifai, pengen ngata-ngatain dia, pengen ngeluapin segala unek-unek Kakak sama dia. Kakak pengen tau kenapa dia gak pernah sekalipun ngabarin Kakak selama beberapa tahun ini. Tapi tadi ... jangankan nanyain kabar, belum nyapa aja dia udah melotot sama Kakak, seolah-olah dia ... sebegitu dendamnya sama Kakak."
"Emang dulu ada apa sih sampe Kak Rifai bersikap kayak gitu sama Kak Zura?"
"Ka-kakak ..." Aku terbata-bata. "Kakak udah ngekhianatin dia, Bagas." Aku mulai memberanikan diri untuk menceritakan kisahku dengan Rifai dahulu. Kenapa sampai Rifai memilih pergi, pindah sekolah, bahkan setuju untuk pindah negara sesuai perintah Ayahnya.
Ku ceritakan semuanya. Dan Bagas, seraya duduk di atas tempat tidur di hadapanku, cowok itu memasang telinganya dengan baik, menyimak penjelasan ku dengan seksama.
"Semua orang tau gimana kasarnya Rifai. Semua orang tau gimana temperamennya dia." Di detik ini, aku mengusap kasar buliran air mataku dengan punggung tangan. Berusaha untuk tidak terlalu sesenggukan. "Rifai makin lama bikin Kakak terkekang gara-gara dia selalu ngatur-ngatur Kakak. Apapun yang pengen Kakak lakuin harus selalu ngelapor sama dia. Kakak bahkan diwajibkan untuk selalu ngangkat telponnya tepat waktu. Dia ngebatasin segala kegiatan Kakak. Dia bahkan bisa ngehajar siapapun cowok yang coba-coba deketin Kakak. Dia pengennya cuma dia aja yang jadi temen ngobrol Kakak. Se-posesif itulah dia."