"Kapasitor terdiri dari dua konduktor lempeng logam yang dipisahkan oleh bahan penyekat atau isolator. Isolator ini kerap digunakan sebagai bahan dielektrik."
Aku sedang menyimak penjelasan tentang teori kelistrikan yang disampaikan oleh guru mata pelajaran Elektronika. Pak Dandi.
Sesekali aku mengamati whiteboard, lantas mencatat. Menyalin materi yang terpampang rapi di papan tulis ke dalam buku milikku.
Terlepas dari serumit apa permasalahan ku, bagaimanapun ... hidup harus tetap berlanjut, bukan?
Tak peduli sepedih apa kondisi hatiku saat ini, waktu terus bergulir.
Namun sungguh, aku tak bisa berpura-pura tegar lagi sekarang. Mengadu pada Olla tidak membuat laraku berkurang. Meluapkan segala unek-unek ku padanya sama sekali tak membuatku merasa lebih baik. Tetap saja, rasa sakit ini masih sangat dalam. Rasa sesal masih belum lenyap. Lubang dalam hati masih menganga lebar. Luka efek ditinggal pergi tanpa kabar masih terus menetap. Dan puncak dari segala rasa sendu justru menjelma menjadi rindu yang menggebu.
Meski sudah ditinggal pergi oleh Rifai selama dua bulan lebih, luka ini masih terasa sangat baru.
Seandainya hati yang cedera bisa mencipratkan darah, aku yakin, sampai detik ini darahnya masih sangat basah. Belum mengering.
Sebagian besar otakku dipenuhi memori tentangnya.
Aku harus dibuat amnesia dulu baru bisa melupakan Rifai sepenuhnya.
"Zura? Zura! Kamu denger penjelasan saya gak, sih?!"
Aku terlonjak kaget mendengar bentakan keras yang disertai gebrakan meja. Laki-laki berjenggot tipis yang mengenakan celana kain serta kemeja garis-garis itu berdiri tepat di hadapanku dengan sorot tajam.
"Eh, Pak Dandi ..."
Aku meringis malu karena telah tercyduk melamun oleh guru ku yang sejak tadi asyik mengajar di depan kelas.
"Jangan mentang-mentang kamu pintar, ranking satu, juara umum, andalan wali kelas, kamu bisa enak-enakan ngelamun dan gak nyimak penjelasan saya, ya."
Aku menunduk merasa bersalah. Memang benar, tak seharusnya aku melamun disaat seorang guru tengah mengajar. Ini sangat tidak sopan.
"Maaf, Pak."
Ku dengar Pak Dandi mendengus. "Kalau kamu masih pengen lanjut ngelamun, keluar aja dari kelas ini sekarang juga supaya kamu bisa ngelamun sepuasnya."
Ah iya, aku lupa, laki-laki berusia sekitar tiga puluhan yang berdiri di hadapanku ini merupakan guru yang terkenal sebagai evil killer.
"Maaf deh Pak, beneran deh saya gak bakal ngelamun lagi." Aku mengangkat kedua jari membentuk huruf V. Memelas padanya agar tidak menghukum ku.
Pak Dandi masih saja menatapku tajam. Entah beliau terbuat dari es atau apa, auranya benar-benar dingin mencekam.
Aku menegakkan badan lalu bersedekap bak anak teladan. Menunjukkan bahwa kali ini aku akan menyimak dengan baik apa yang beliau sampaikan.
"Ya sudah, lain kali jangan ngelamun lagi dan simak penjelasan saya dengan baik."
"Iya, Pak." Aku mengangguk mantap lantas menunduk lesu. Merasa sangat dipermalukan karena ditegur segalak itu, tetapi aku sadar sepenuhnya kalau ini merupakan kesalahanku sendiri.