Lima empat: Marah-marah

5 1 0
                                    

"Oh." Melihatku datang menghampiri, Rifai langsung bangkit dari duduknya.

"...jadi Anda kokinya?"

Di hadapannya, meski dianggap aneh pun aku tak peduli. Aku masih terus mengerjap, memastikan bahwa laki-laki yang berdiri di depanku itu benar Rifai.

"Kalo gak bisa masak, mendingan gak usah buka restoran. Gak guna!" omelnya dengan suara lantang menggelegar seolah sengaja agar para pemilik telinga mendengarnya. "Masa ada pelanggan yang kelaperan malem-malem gini malah diusir? Pasti Anda kan yang nyuruh?"

Aku tertegun meski untuk pertama kalinya aku di komplain di depan semua pelanggan yang berkunjung ke restoran ini. Seolah akulah yang salah.

Aku masih tetap bergeming di tempatku berdiri meski untuk pertama kalinya aku dimaki habis-habisan di depan para pelanggan yang kini memusatkan atensi mereka padaku.

Entahlah. Ini terlalu tak masuk akal bagiku. Aku masih terus mencerna segala keganjilan yang mengepungku.

Rasanya baru kemarin aku berangkat ke Paris untuk menemui Rifai. Namun nyatanya dia tak menerima kehadiranku. Lalu apa-apaan ini? Setelah aku memutuskan untuk pulang, kembali menata hidup, kembali meniti karir, seperti jelangkung, cowok itu secara tiba-tiba kembali muncul mengusik hidupku. Mengacaukan pikiran serta menghancurkan segala upayaku untuk bisa move on darinya.

Apakah ada yang lebih kurang ajar dari dia?

"Kalo sekiranya gak bisa masak tuh jangan maksain kali. Anda pikir kenapa saya berani mesen hidangan jangkrik bakar? Ya karna saya berani bayar!"

Mendengar komplain aneh dari cowok di hadapanku, sontak para pengunjung saling pandang satu sama lain, terheran-heran.

"Kenapa gak dibuatin aja sih khusus buat saya?"

Aku kesulitan menelan saliva hingga hampir tersedak.

Dengan sekonyong-konyong, pemuda dengan stelan jas rapi lengkap dengan dasi itu melangkah perlahan mendekatiku yang berdiri mematung tak dapat melawan bagai pengecut.

Dengan perlahan, tepat di telingaku, cowok itu berbisik lirih seraya menyeringai licik.

"Masak jangkrik ... sampe sekarang pun masih jadi hal yang gak sanggup lo lakuin?"

Sontak, mataku terbelalak tatkala mendengar bisikannya.

Semakin mengkerut keningku dibuatnya. 

Alih-alih memanggilku dengan bahasa sopan seperti saat mengomel tadi, Rifai justru berbicara dengan bahasa yang berbeda tatkala berbisik.

"Ma- maksud Anda ... apa ya?"

Mengikuti bahasa formal seperti yang dia katakan saat mengomel tadi, aku bertanya apa maksud perkataannya barusan. Tetapi justru dibalik kepalan tangannya yang menyungkup mulut, cowok itu menyembunyikan seringai culasnya.

Entahlah, otakku sepertinya terlalu lelet untuk dipakai berpikir saat ini. Sampai untuk berbicara pun lidahku kelu hingga pada akhirnya menghasilkan suara yang terbata gugup. Tak tahu harus berkata apa di depan cowok yang ucapannya sama sekali tak ku mengerti.

Namun yang ku tahu pasti, hadirnya Rifai akan menjadi masalah besar dalam hidupku.

Aku harus mempersiapkan diri mulai sekarang. Sudah hafal betul, cowok sinting itu pasti akan kembali membuat ulah setelah hari ini. Firasat ku mengatakan demikian.

***

Menghela napas dalam-dalam lalu menghembuskan secara perlahan, aku baru saja selesai merapikan kasur bersiap untuk terlelap. Karena memang biasanya sebelum mengacak-acak ranjang, aku selalu terlebih dahulu merapikannya agar tidurku nyaman.

"PSYCHOPLAK"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang