"Buttery Honey Mustard Salad, Tenderloin Steak dengan Bumbu Blackpepper, Spaghetti Carbonara, Spring Roll ... Oke." Aku menjentikkan jari sesaat setelah membaca pesanan yang baru saja diserahkan salah seorang waiters. "Siapkan hidangan yang saya sebutkan tadi dalam dua puluh lima menit, ya."
"Ya, chef!" seru semua koki kompak.
Hari ini, aku bekerja seperti biasa. Berjibaku dengan wajan penggorengan, spatula, serta berbagai bahan makanan yang siap dimasak menjadi hidangan lezat.
Selain mengarahkan, aku juga bertugas memasak salah satu hidangan.
Huevo Crocantes.
Makanan Mexiko yang kubuat ini merupakan salah satu masakan yang paling digemari para pengunjung.
Saat mereka memesan ini, mereka bisa menikmati tortilla yang diberi topping guacamole, beans, cheese, meat, dan fried egg.
Protein, vitamin, zat besi, sudah pasti akan mereka dapatkan semua.
Banyak yang jatuh cinta pada menu sehat ini. Karena hal tersebut, masakan berhiaskan telur setengah matang ini menjadi salah satu hidangan yang paling istimewa yang disediakan di restoran ini.
23:30.
Aku mengecek arloji yang terpasang di nadi kiriku. Restoran tutup lebih awal hari ini. Syukurlah, aku bisa cepat-cepat pulang dan segera berbaring di atas tempat tidurku yang nyaman ditemani boneka-boneka ku yang imut nan menggemaskan.
Boneka tengkorak dengan mata yang tidak wajar besarnya serta mulut terjahit dengan bentuk menyeringai tampak begitu lucu bagiku. Benda empuk nan lembut itulah yang selalu menemaniku tidur.
Aku sudah tidak sabar untuk segera membersihkan diri lalu melemparkan diri ke atas ranjang.
Sebelumnya, aku sudah mengabari Rizlan terlebih dahulu untuk tidak perlu menjemputku malam ini. Aku memutuskan untuk pulang dengan menaiki taksi saja. Namun ternyata tidak semudah yang ku bayangkan. Sejak beberapa menit yang lalu, tak ada satupun taksi yang lewat membuatku terlantar di jalanan tak tahu bagaimana harus pulang kalau sudah begini.
Tiba-tiba, terdengar suara klakson mobil yang membuatku refleks menolehkan kepala ke belakang. Melompat menjauh saking kagetnya.
BMW legam berhenti tepat di belakangku, tak peduli meski kini aku sudah berjalan menepi untuk mempersilahkannya lewat, mobil tersebut tetap bergeming di tempatnya. Seseorang di dalam sana tidak kembali melajukan kendaraannya entah mengapa.
Tiba-tiba, terdengar kembali bunyi klakson membuat keningku semakin mengkerut. Tak paham apa yang sebenarnya dilakukan si pengemudi?
Namun, pertanyaan dalam benakku langsung terjawab seketika tatkala pengemudi yang sedari tadi memencet klakson itu pada akhirnya keluar menunjukkan siapa dirinya.
Dia tersenyum ramah padaku meskipun aku membalasnya dengan tampang datar. Loading. Berpikir beberapa lama untuk memastikan bahwa sosok yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri ini memang benar dia.
Dia yang dahulu aku kenal.
Dia yang memiliki alis super tebal turunan sang Ayah.
Dia yang dahulu hanyalah bocah SD kelas enam berusia dua belas tahun ... kini menjelma menjadi sosok pemuda yang jangkungnya bahkan melebihi tinggi badanku. Curang.
"Kak Zura masih inget sama Bagas, kan?"
Secara spontan, aku membekap mulutku sendiri saking terkejutnya melihat sosok pemuda yang berdiri tepat di hadapanku itu. Aku tidak salah lihat, kan?