Tujuh satu: Calon

7 1 0
                                    

Entah perasaan ku saja atau bagaimana? 

Aku merasakan perasaan aneh tatkala kaki ku melangkah menuju sedanku. Bahkan perasaan janggal ini sudah muncul sejak pertama kali aku melangkahkan kakiku keluar dari rumahku.

Celingukan, mataku menyapu pandang berusaha menembus pekat malam.

Aku merasa inderaku seolah menangkap pasang mata yang memperhatikanku dari jarak yang tak dapat ku perkirakan.

Entah sosok ganjil itu berada di kejauhan ... atau mungkin berada sangat dekat denganku namun tak kusadari.

Pada dasarnya, mata manusia sebenarnya selalu melihat benda-benda diluar bidang pandangnya, disadari atau tidak. Ini merupakan sifat alami manusia untuk bertahan.

Orang yang mempercayai makhluk gaib mungkin menganggapnya sebagai kehadiran hantu, tetapi mereka yang rasional tidak akan memiliki anggapan seperti itu.

Alih-alih makhluk halus, lebih seram lagi aku justru merasa bulu kudukku meremang dikarenakan ada sosok manusia yang mungkin saja secara diam-diam mengamatiku. Firasatku mengatakan demikian.

Stalker?

Apa kali ini lagi-lagi aku diikuti stalker?

Tetapi, apa yang stalker itu inginkan dariku? 

Bisa-bisanya ada orang yang mengikutiku sampai kesini. Apa tujuannya coba?

Hingga aku memarkirkan kendaraanku lantas keluar pun, perasaan janggal ini belum juga hilang. Aku masih merasa ada seseorang atau mungkin lebih ... tengah mengawasiku.

Pekat malam, gemerisik dedaunan yang bergesekan dari gerumbul pepohonan lebat, hembusan angin, bahkan keheningan, semua itu terasa mencekam.

"Nggak. Gak mungkin lah ada yang ngikutin."

Aku memejamkan mata rapat seraya menggeleng cepat, berusaha membuyarkan segala pikiran negatif ini. 

Dalam hati, berulangkali mengucapkan kalimat yang sama pada diri sendiri.

Semua pasti baik-baik saja.

Pasti baik-baik saja.

Di akhir pekan, aku sengaja bertandang ke kediaman Rasiska. Berniat untuk mengobrol dengannya. Ingin mengetahui apakah hubungannya dengan Rizlan sudah ada kemajuan.

Aku sudah tiba di depan rumahnya yang terbilang cukup besar. Di dominasi cat putih dengan pagar besi hitam menjulang tinggi.

Terpampang di depan gerbang halaman rumah, berderet pepohonan palem merah. Membuat pemandangan di depan rumah nampak asri.

Baru tiba di teras, dua orang gadis kecil berlari begitu tangkas tatkala melihatku datang.

"Kak Zura???"

"Kak Zuraaa...!"

"Hei, kalian apa kabar?"

Aku langsung berlutut, meletakkan kedua lututku di lantai. Membiarkan dua gadis kecil itu memelukku.

Aku memang sudah sangat akrab dengan kedua adik Rasiska. Mereka sendiri memiliki sifat yang ramah dan mudah akrab. Terlebih Ayah Rasiska yang juga selalu menyambutku dengan hangat setiap kali berkunjung kesini, membuatku merasa mereka sudah seperti keluargaku sendiri.

"Kakak kok baru sekarang mainnya? Kakak kemana aja? Aelke kan kangen."

Adik pertama Rasiska, Aelke Dwita, gadis itu baru berusia empat belas tahun.

"Kakak nyari Kak Siska, ya?" Adik kedua Rasiska, Venna Rizkya, yang baru berusia dua belas tahun itu sangat peka memang. Dia menarik tanganku, menuntunku menuju kamar kakak sulungnya di lantai atas tatkala aku mengangguk padanya.

"PSYCHOPLAK"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang