Enam tujuh: Ainsley

8 1 0
                                    

Setelah tiba di rumah pun, ponselku tak berhenti berdering menampilkan nama Tukang Maksa.

Ada tiga puluh misscall dari Rifai. Aku mengabaikannya. Namun kemudian dia menghujani ku dengan pesan WA.

Tukang Maksa

|ra gua minta maaf

|angkat telpon gua sekali aja plis

read

Aku memutuskan segera me-nonaktifkan ponselku secara total. Sudah sangat kecewa pada cara Rifai yang sebenarnya niatnya ingin aku gagal move on darinya, tetapi justru perbuatan tercelanya itu membuatku sangat membencinya.

Dia sudah mempermainkan ku. Sekarang, biarlah 'mainan'-nya ini bertindak sesuka hatinya.

Sudah cukup batinku tersiksa semenjak kehadirannya.

Sudah cukup aku menangis galau karenanya.

Keputusan ku sudah bulat. Kali ini ku pastikan aku takkan lagi goyah.

Takkan kubiarkan sisi diriku yang rapuh mengalahkan nalar ku.

Ku hapus kasar dengan punggung tangan sisa lelehan air mata di pipiku yang tak berhenti mengalir sepanjang perjalanan menuju rumah. Tangan ku letakkan di dada, dengan teguh, berseru penuh keyakinan.

Takkan ku biarkan kilau pesona yang dimiliki seorang Agrifai kembali meluluhlantakkan hatiku ...

***

"Ra, thanks ya, tau gue mau kesini lo langsung sigap masakin makanan favorit gue."

Tumis baby gurita cabai bawang dengan potongan lemon yang baru saja selesai ku masak, kini ku hidangkan di atas piring berukuran sedang, ku letakkan di atas meja makan.

Rizlan sudah duduk manis siap menyantap sajian di atas meja, garpu dan sendok di kedua tangan. Aku sontak terkekeh melihat tingkahnya. Dia selalu tampak antusias pada setiap apapun yang ku masak. Selalu menghargai masakan apapun yang kubuat untuknya. Memujiku dengan tulus.

Aku kini duduk tepat di kursi samping Rizlan. "Lo kok gak ngabarin dulu sih kalo mau kesini? Lagian, bukannya lo masih sibuk?"

"Gak terlalu sibuk kok sekarang. Gue punya banyak waktu santai. Makanya sekarang gue ada disini." Rizlan dengan lahap memasukkan sesendok demi sesendok olahan gurita ke dalam mulutnya, tampak sangat menikmati.

Aku menopang dagu dengan kedua tangan, mengamatinya yang tengah asyik bersantap macam anak kecil. Mulutnya belepotan. Ku serahkan selembar tisu untuknya. Rizlan mengangkat dagunya memberi kode yang langsung ku pahami. Ku seka perlahan sisa-sisa makanan disudut bibirnya. Seketika senyumnya langsung mengembang.

"Dasar!"

Rizlan terkekeh kecil seraya masih asyik mengunyah.

Senyum yang seketika merekah di bibirku, seketika memudar luntur. Melengkung turun membentuk raut terluka.

Bagaimana bisa kedua netraku sejenak melihat sosok laki-laki yang amat sangat ku benci tengah duduk tepat di sampingku asyik menyantap olahan jangkrik bakar. Bahkan kriuknya terdengar nyaring di gendang telinga.

Secepatnya mataku terpejam kuat-kuat. Berusaha menepis khayalan tak masuk akal ini.

Jelas-jelas laki-laki yang tengah duduk bersamaku di atas kursi meja makan saat ini adalah si penggemar gurita, bukan si pecinta jangkrik.

Ada Rizlan. Tetapi justru wajah nakal Rifai yang memenuhi kepalaku.

Sosoknya terlalu sukar untuk ku singkirkan dari ingatan. Sepertinya kepala ini harus terbentur terlebih dahulu baru lah aku bisa melupakannya sepenuhnya.

"PSYCHOPLAK"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang