Lima satu: Pulang

7 1 0
                                    

Hawa dingin serasa mencambuk tubuhku. Buru-buru ku tutup rapat jendela yang terbuka menampakkan lampu-lampu kota berbalut angin malam yang bertiup kencang menerpaku dengan kejam.

Sampai selarut ini, mataku belum juga kering. Tak peduli meski sudah sangat sembab efek hujan tangis yang terus mengalir dengan derasnya sejak sore tadi, seolah enggan surut.

Cairan bening ini masih terus bercucuran sejak laki-laki yang sudah sejak lama ingin ku temui itu rupanya dengan biadabnya mencampakkan ku. Tanpa berbasa-basi pula. Dia pergi meninggalkanku sendirian tenggelam dalam lembah duka.

Ingatan tentang wajah bengisnya saat menatapku begitu membekas. Bahkan kini terlalu pahit bagiku untuk menyebut namanya.

Kalimat singkat yang dia lontarkan padaku masih begitu terngiang di telinga. Berdengung hebat menciptakan rasa sesak di dada.

Seharusnya aku tahu, menemui laki-laki itu ... sama halnya seperti sengaja mengorek luka lama.

Segala usahaku untuk move on sia-sia sudah. Mau tidak mau aku harus kembali berjuang dari awal lagi. Berusaha membalut luka lama ku yang kini kembali terkoyak lagi. Akan membutuhkan waktu yang teramat panjang bagiku untuk menyembuhkannya.

"Halo." Ku sapa dengan nada datar saat menerima panggilan suara dari seorang cowok yang kemarin bertindak bagai pemandu wisata khusus untukku.

"Kak, Kak Zura beneran mau pulang besok?" tanya Bagas melalui sambungan telepon.

"Iya," sahutku singkat sembari mengusap lembut wajah yang basah dengan tisu.

Dalam beberapa detik, keheningan menguar di antara kita.

"...Bagas minta maaf ya, Kak. Salah Bagas karena gak ngasih tau yang sebenarnya sama Kak Zura. Bagas bener-bener minta maaf ..."

"Udahlah, Bagas, gak usah dibahas lagi ..." Aku berusaha mengendalikan intonasi suaraku agar tidak terdengar parau. "Semuanya udah terlanjur. Gapapa, kok."

"Kalo gitu ... Bagas minta maaf ngewakilin Kak Rifai ..."

Mendengar nama itu disebut, suasana hatiku semakin memburuk rasanya.

Pada Bagas, aku memang sudah menceritakan bagaimana sikap abangnya saat tadi sore ku temui di Arc de Triamphe.

Bagas terkejut. Dia marah. Mengaku padaku bahwa rasanya dia ingin sekali memukul abangnya. Tetapi aku tahu betul, Bagas takkan pernah berani melakukannya. Yang ada nanti malah dia sendiri yang kena hajar.

"Serius deh, Kak, kalo aja saat itu Bagas ada disana, bakal Bagas ajak ribut tuh orang, gak peduli meski lagi di tempat rame sekalipun!"

"Emangnya kamu berani? Kamu gak serius, kan?"

"Belum pernah sebelumnya Bagas seserius ini," akunya membuatku sontak terhenyak. "Belum pernah sebelumnya Bagas nafsu banget pengen ngehajar orang sampe kayak gini. Bagas serius, Kak. Bagas beneran pengen ngehajar Kak Rifai. Sikapnya udah bener-bener keterlaluan."

Mendengarnya, aku yang tadinya meragukan ucapannya pun seketika tergugu.

Cowok kalem itu bisa emosi juga rupanya.

Aku sungguh menghargai simpatinya. Setidaknya, aku bisa sampai kesini juga berkat dirinya.

"Gak ada satupun hal yang mau gua omongin sama lo."

Ucapan pedasnya itu sudah lebih dari cukup untuk menyadarkan ku bahwa dia memang sudah tak ingin lagi berbicara denganku.

Sorot tajamnya yang luar biasa beringas itu sudah lebih dari cukup untuk mengirimku ke kenyataan bahwa memang dia sudah tak ingin lagi bertemu denganku.

"PSYCHOPLAK"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang