Baru saja keluar dari bangunan hotel, udara yang teramat dingin langsung menyambutku membuat merah hidungku. Aku bergegas mencari tempat yang agak sepi agar aku bisa norak-norakan dengan salju.
Mumpung lagi di Paris, aku menyempatkan main guling-gulingan di salju bersama sekawanan bocah yang tengah asyik menikmati waktu libur sekolah, sepertinya. Dengan jurus sok akrab andalanku, aku ikut membuat boneka salju dengan mereka yang tak sungkan di ajak mengobrol dan bermain bersama.
Guling-gulingan di salju membuat pakaianku basah, dan membuat boneka salju ternyata ada ilmunya, tidak semudah perkiraan.
Aku mencoba menggenggamnya, beberapa kali membuat bola salju alakadarnya dan melemparnya. Rasanya seperti melempar pasir basah di pantai. Bayangkan saja pasir basah, namun sangat dingin seperti butiran es serut.
Ketika iseng melepas sarung tangan, yang tadinya hangat, tanganku langsung terasa dingin dan sakit seolah baru saja dihujamkan pada dinding dalam kulkas penuh bunga es.
Dibalik rasa gembiraku menikmati keindahan salju di taman, ada setitik perasaan janggal dalam hatiku.
Jujur saja, salju membuat perasaan hati menjadi lebih melow. Perasaan sepi dan sedih karena dingin menghinggapiku, tidak ada kehangatan serta tidak ada matahari. Aku jadi tahu bagaimana rasanya warga negara empat musim yang menjadi depresi atau bahkan bunuh diri karena musim dingin panjang yang bersalju.
Hidup di musim dingin dan bersalju memberikanku rasa syukur karena lahir dan dibesarkan di daerah tropis.
"Lagi ngapain, Kak?"
Mendengar suara berat itu, sontak kepalaku langsung menoleh ke belakang dengan cepatnya.
"Bagas? Hei! Katanya nanti kita ketemu di Madame, kok kamu malah nyamperin kesini?"
"Sengaja," sahutnya kalem.
Cowok yang memadukan coat cokelat muda setelan jas dengan vest rajut itu berdiri seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
Aku beranjak dari dudukku di atas hamparan salju yang menutupi tanah dengan sempurna. Membersihkan butir-butir salju dari mantel yang ku kenakan, aku mengulas senyuman cerah ke arah cowok yang kehadirannya sangat ku tunggu-tunggu. Remaja berusia sembilan belas tahun itulah yang berperan menghubungkanku dengan sosok cowok yang sungguh tak sabar ingin segera ku temui.
Aku menatap arloji burung hantu yang terpasang tepat di pergelangan tanganku. Sudah pukul 16:30 sore.
"Oya, kamu nyampe jam berapa? Tiba-tiba udah disini aja."
"Sekitar jam sembilan pagi, kan berangkatnya sore." sahutnya. "Oya, Kak Rifai katanya lagi di taman lho, Kak."
"Hah? Taman? Taman mana? Taman di deket-deket sini bukan?"
Cowok yang berdiri di hadapanku mengangguk seantusias aku bertanya. Saat ini dia pasti bisa melihat dengan jelas mataku yang berbinar-binar saking senangnya mendengar informasi darinya. Namun, sejurus kemudian netraku refleks membola.
"Oya! Kamu gak bilang kan kalo Kakak ada disini?" Aku melotot horor.
"Nggak, kok." gelengnya. "Sesuai permintaan Kakak. Bagas gak ngasih tau Kak Rifai kalo Kak Zura ada disini. Bagas gak ngomong apa-apa."