Setelah kemarin bersenang-senang, memasak serta bersantap bersama Mama, menghabiskan waktu bersamanya mengobati rindu, hari ini aku kembali melaksanakan tugasku di dapur restoran seperti biasa. Namun sayangnya pekerjaanku harus tertunda tatkala seorang waiters muncul dan menyampaikan informasi bahwa ada seseorang yang katanya ingin menemui ku.
"Sepagi ini?" kernyitku. Padahal jam dinding saja baru menunjukkan pukul 10:21. Sepagi ini sudah ada tamu yang ingin menemuiku. "Emang siapa yang pengen ketemu sama saya?"
"Saya kurang tau, chef." sahut seorang waiters ber-gender laki-laki bernama Thoriq.
"Cowok?" Aku menebak.
"Cewek, chef."
Hah? Cewek? Siapa yang sekiranya ingin menemuiku? Kalau Mama tidak mungkin. Semua pegawaiku mengenalnya. Olla juga rasanya tidak mungkin. Aku tahu betul, dia tidak pernah datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu.
"Ya sudah, kamu minta dia buat temuin saya di ruangan saya, ya. Kamu anterin. Kamu suguhin minum. Secepatnya saya akan menyusul."
"Baik, chef."
***
Entahlah, sepagi ini feeling-ku sudah tak enak.
Dari belakang, terlihat seorang wanita dengan rambut panjang bergelombang berwarna kecokelatan yang nampak familiar.
Dia mengenakan black long sleeve bodycon dress.
Ada yang bilang, hitam itu misterius. Warna hitam pada pakaian khususnya dress memberikan kesan seksi pada penggunanya. Bukan hanya seksi, wanita yang tengah duduk manis di atas sofa tamu ruangan ku ini terlihat begitu elegan dan classy.
Dress hitam berlengan panjang yang dia kenakan terlihat sangat pas sehingga membuat lekuk badannya yang ramping terbentuk dan membuat kesan seksi tanpa harus memamerkan kulit tubuhnya. Gaun yang ia kenakan memperlihatkan sisi feminim seorang wanita dan keseksiannya sebagai seorang wanita namun tetap terlihat sopan dan elegan.
Terperanjat kaget aku tatkala wanita yang ku amati dari arah belakang itu kini berbalik. Tersenyum manis menatapku, dia bangkit berdiri kemudian mengulurkan tangan, mengajakku bersalaman.
Wanita itu ... istrinya Rifai.
"Hai, aku Ainsley."
Dengan gugup, aku menyambut uluran tangannya.
"Hai." Hanya sapaan singkat yang terlontar dari mulutku.
Meringis tak nyaman aku dibuatnya. Sama sekali tidak pernah menyangka sebelumnya bahwa cewek blasteran yang ku taksir berusia lebih muda dariku itu akan datang berkunjung secara langsung ke restoran ku.
Berusaha terlihat normal, aku mengukir senyuman cerah, mempersilahkan wanita itu untuk duduk kembali.
"Silahkan."
"Terimakasih," ucapnya. "Maaf kalau kedatangan saya kesini mengganggu pekerjaan Anda, chef?"
Aku tidak tahu apa maksud kedatangan wanita itu kesini. Dia bahkan memanggilku dengan sebutan 'chef'. Bukan namaku.
"Panggil Zura saja." Aku menyarankan.
"Yah, saya tau," gumamnya.
"Maksudnya?" kernyitku.
"Saya sudah tau nama 'kakak'. Tapi, daripada manggil nama secara langsung, apa boleh saya manggil 'kakak' aja?" tanyanya dengan hati-hati.