Tidak akan nyenyak tidurku sebelum terlebih dahulu berbicara dengan Papa. Menjelaskan kehebohan yang terjadi tadi.
Aku dengan lancang kabur begitu saja, membiarkan Rizlan yang menjelaskan, sendirian.
Papa pasti sangat marah.
Benar saja dugaanku. Di depan semua anggota keluarga, entah sudah berapa jam Papa menceramahi ku. Mengomeli ku bahwa katanya aku ini anak yang tidak sopan. Bertingkah sesukanya. Bikin malu keluarga.
Sejak dulu pun ucapan Papa memang sangat pedas bahkan cenderung frontal. Aku memakluminya karena sudah terbiasa. Akan tetapi, penuturan yang dahulu terdengar biasa saja, malam ini terdengar amat menusuk.
"Zura? Sebenarnya apa kekurangan Papa?"
Kepala yang sedari tadi terus-menerus menunduk rendah tak sanggup berbalas tatap dengan Papa yang berdiri dipenuhi amarah, kini mendongak cepat mendengar pertanyaannya barusan.
"Sebenarnya apa kekurangan Papa dalam mendidik kamu sampai kamu bersikap kurang ajar gini?"
"Sudahlah, Mas." Dengan nada penuh penekanan, Mama menyela. Sedari tadi dengan setia mendampingiku seraya merangkul lembut punggungku. "Aku memang bukan istri kamu lagi, tapi aku tetap Ibunya. Aku punya hak untuk melarang kamu memarahinya. Lagipula, mau sampai kapan kamu terus-terusan menyalahkan Zura?"
"Dasar anak tidak tau diuntung." Ku dengar Papa bergumam seraya memalingkan wajahnya yang merah padam. Tampak begitu gusar, namun seolah berusaha ia redam.
Sejujurnya, menyakitkan sekali mendengar umpatan-umpatan Papa terhadapku.
Dalam setiap kosa kata yang keluar dari mulutnya itu terdapat duri yang mencuat.
"Bagaimanapun juga, Zura itu putri kita, Mas. Semarah apapun kamu, gak seharusnya kamu berbicara kasar seperti itu."
Mama dengan peka pasang badan, melindungi ku, mewakili apa yang ingin sekali mulut ini lontarkan.
Papa mengusap kasar wajahnya, menghela napas panjang lantas menghembuskannya kasar. Sedangkan Om dan Tante ku sejak tadi hanya duduk diam tak mau ikut campur. Tetapi aku tahu betul, ada banyak sekali pertanyaan, terlihat di wajah mereka.
"Zura tau, Papa sangat marah ... tapi tetep aja Zura pengen minta maaf sama Papa." pada akhirnya mulut yang gemetar ini membalas ucapan Papa, kini mulai memberanikan diri untuk bersuara. "Maafin Zura, Pa. Maafin Zura juga Om, Tante. Zura udah ngecewain kalian semua. Zura udah bikin malu keluarga. Tapi Zura bakal tanggung jawab." kata terakhir kuucap tegas. "Zura bakal nemuin Oma sama Opa secara langsung. Zura bakal jelasin semuanya. Zura yakin keluarga Rizlan pasti bakalan ngerti."
"Kenapa gak tadi aja kamu jelasin ke mereka pas mereka masih disini?" penuturan bernada dingin itu sontak membuatku tertohok hingga kesulitan menelan saliva. "Kenapa disaat-saat penting kamu justru kabur? Apa itu yang disebut dengan tanggung jawab?"
Sungguh, rasanya belum pernah aku melihat Papa semarah ini sebelumnya. Bukan hanya marah, beliau terlihat amat sangat kecewa pada putri semata wayangnya ini. Tetapi aku harus berani menghadapinya.
Perlahan, aku beranjak dari dudukku, mendekat menghampiri Papa yang justru memalingkan wajahnya dariku. Membuatku kini tak lagi sanggup meredam bulir lembut embun yang kini jatuh di kedua panas mataku.
"Papa semarah itu ya, sampe Papa gak mau ngeliat wajah Zura?"
Dengan sorot tajam itu, Papa masih tetap memalingkan wajahnya seolah enggan untuk berbalas tatap dengan anak yang sudah sangat mengecewakannya. Ku akui.
"Pa ..."
Aku tetap berusaha untuk membujuknya berharap hatinya yang sekeras batu itu perlahan luluh. Ku genggam salah satu telapaknya dengan kedua tanganku yang gemetar.