Enam dua: Canggung

8 1 0
                                    

Pernah disebut gila kerja, aku sama sekali tidak tersinggung. Tetapi disisi lain, kalimat itu membuatku pada akhirnya merenung. Berpikir apakah memang aku ini terlalu rajin?

"Sejak jaman sekolah pun lo selalu jadi murid yang dibanggain semua guru. Cerdas, rajin, bisa bergaul sama siapa aja, punya banyak prestasi, dan juga rasa simpati yang tinggi."

Aku merenungkan kalimat berisi sanjungan yang Rifai lontarkan semalam.

"Tapi gua jujur kok," akunya tiba-tiba. "Kali ini gua bener-bener serius sama apa yang gua ucapin."

"...Lo cantik." 

"Ah sial. Mau ditaro dimana muka gue nanti kalo ketemu?!"

Seharian ini aku hanya terus uring-uringan di atas tempat tidurku. Tak peduli mentari pagi bersinar begitu terik menerawang dibalik gorden jendela kamarku, aku hanya terus menyungkup wajahku yang terasa memanas ini dengan boneka tengkorak milikku. Bisa salah tingkah aku jika bertemu dengan Rifai nanti. Apalagi mengingat semalam tanpa sadar tanganku terulur begitu saja memeluknya. Dasar bodoh. Itu sungguh perbuatan tercela.

"Sumpah itu bukan gue!" jeritku frustasi. 

Bantal serta guling ku tendang-tendang secara random hingga terlempar jauh secara mengenaskan. Bisa gila aku. Percakapan yang sesungguhnya tidak ingin ku ingat, justru malah selalu terbayang di memori otak. Melekat. Terekam dengan sangat jelas di dalam kepala.

"Dasar sinting! Seharusnya lo gak meluk gue!" Aku berseru mengutuk Rifai.

"Dasar bego! Gak seharusnya gue naksir cowok sinting kayak lo!" Kali ini aku merutuki diri sendiri. Tak habis pikir terhadap diriku sendiri.

Kalau tahu akan menyesal seperti ini, tadi malam saat Rifai memelukku langsung ku dorong menjauh saja dia. Kemudian ku guyur wajahnya dengan air. Sungguh tidak menyangka laki-laki itu bisa begitu blak-blakan memuji gadis yang dahulu biasa ia maki.

"Cewek sepenting lo... gak sehina itu dimata gua."

Apakah memang pujiannya itu tulus?

"Lagipula, kalo gak penting, gua gak akan sengaja balik lagi kesini cuma sekedar pengen tau gimana kabar lo."

Mengingat perkataannya yang menohok itu, seketika mataku melebar. Berkedip dua kali, aku berhenti menyungkup wajah dengan boneka, otakku memproses, mencerna, hingga pada akhirnya aku menyadari.

Faktanya, Rifai kembali ke Indonesia hanya sekedar untuk mengetahui bagaimana kabarku ... bukan untuk kembali melanjutkan kisah cinta kita.

***

"Kamu gak kerja?"

"Nggak, Ma."

"Lho, kenapa? Kamu sakit?" paniknya.

"Emang sengaja, kok. Sore ini Zura udah janjian sama temen-temen Zura."

"Janjian? Emang kamu mau kemana?"

"Kondangan ke pesta temen kuliah, Ma."

Saat ini aku sedang mengeringkan rambut panjangku yang basah menggunakan hairdryer. Tepat ketika baru saja selesai mandi dan masih mengenakan kimono handuk, Mama menghubungiku. Ponsel ku loadspeaker.

"Oh, ada temen kamu yang menikah?"

"Iya, Ma." sahutku. "Oya, besok Mama jadi kan kesini? Pokoknya Mama harus nginep ya disini. Kita masak bareng."

"Kalau bisa hari ini, kenapa harus besok?"

"Hah? Serius? Mama beneran mau kesini hari ini? Jam berapa?" hebohku.

"PSYCHOPLAK"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang