🍂Keputusan Fauzan🍂

409 58 14
                                    

"Maaf Mbak, mbak Aira gak datang hari ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Maaf Mbak, mbak Aira gak datang hari ini. Bahkan, udah 2 hari belum datang ke sini. Paling kita cuma dikirimi pesan singkat kalau memang lagi ada perlunya."
Namira mengerucutkan bibirnya. Sudah beberapa hari ia tidak bisa mengunjungi toko Aira. Sekalinya ada waktu malah Aira yang tidak berada di tempat.

"Ya udah deh. Lain kali aku ke sini lagi. Terimakasih ya. Dan aku pesan beberapa cake Aira dulu deh."
"Baik Mbak. Boleh dipilih dulu menunya."
Namira dengan senyuman puasnya terus memilih apa saja yang ingin ia pesan.

Tak berapa lama, ia mendapatkan handphone miliknya berdering.
"Mama? Kenapa lagi sih Ma?"
"...."
"Siapa lagi? Namira bosan Mama terus berusaha jodoh-jodohin Namira dengan kenalan Mama."
"...."
"Tapi Namira bisa tentuin pilihan Namira sendiri. Udah dulu deh Ma. Namira masih sibuk dengan kerjaan Namira. Namira tutup. Bye!"

"Dijodohin udah kayak Siti Nurbaya aja Mbak. Hihihi...." celetuk Nia.
Namira tertawa dan mengiyakan nasib malang dirinya yang masih saja jomblo terus menerus.

"Yaaa.... beginilah Mbak. Nasib para jomblo kayak saya. Umur udah mendekati masa expired, jadinya banyak banget kandidat dari orang tua ke anak-anaknya yang gak nikah-nikah."
"Tapi jadi Mbak dan mbak Aira enak banget. Udah cantik, pekerja keras lagi. Siapa sih calon mertua yang bakal menolak. Hihihi...." Sambung karyawan Aira lainnya.

Namira pun membayar bill yang sudah ia lihat berapa yang harus ia bayar. Setelahnya pamit pulang dengan hati yang kecewa tidak bisa bertemu dengan teman baiknya.
"Mama ada-ada aja deh. Sebel banget dijodoh-jodohin muluk."

💐~💐

Fauzan menutup sempurna Al_Qur'an yang sudah ia baca.
"Masyaallah.... Sholehnya anak Mama sekarang."
Fauzan mengulas senyumnya.

"Enggak ke kantor hari ini?"
"Males Ma. Mau di sini aja."
"Jangan lupa untuk mempersiapkan diri di hari yang udah mama kasih tahu ke kamu ya."
Fauzan menunduk dan mengangguk pelan.

"Insyaallah, semua yang terbaik untuk kamu. Kamu sudah mau belajar untuk perbekalan kamu saat berumah tangga nanti. Insyaallah, kalau dari Imamnya taat, istri akan mengikuti. Ini sudah takdir kamu yang Allah gariskan. Terus menjadi versi yang terbaik ya!"

Fauzan mengangguk dan kembali mengulas senyumnya. Ia menutup kedua matanya melepas semua beban pikirannya. Sudah hampir satu bulan ia membiasakan diri jauh dari hiruk pikuk lingkungan sekitarnya. Ia keluar hanya seperlunya. Menyelesaikan dengan cepat pekerjaannya dan langsung pulang. Ia juga lebih memilih kediaman orang tuanya sebab ia butuh bimbingan. Bimbingan Papanya yang lebih bisa menuntun dirinya agar tetap Istiqomah.

Aira masih terbaring lemas pada kamarnya. Hanum berulang kali mengecek kondisi sang anak yang masih terasa hangat. Membantu Aira untuk bisa sembuh dari sakitnya.

"Makan ya Aira."
"Masih gak selera makan Buk."
"Harus dipaksa. Ibuk takut malah mag kamu yang kambuh."
Aira mencoba bangkit dan duduk menyandar.

Hanum mengelap lembut peluh pada pelipis Aira. Mengusap wajah yang masih pucat.
"Sehabis ini langsung minum obat ya."
Aira mengangguk dan tersenyum simpul.

Hanum menyuapi Aira. Walau Aira menolak untuk disuapi tetap ia memaksa. Ia sangat ingin merawat dan memastikan Aira sampai sembuh.

Aira menyelesaikan makannya dan meminum obat yang sudah tersedia. Ia menatap lekat wajah sang Ibu. Ia menarik perlahan kedua tangan Ibunya dan mengecup berulang kali.

"Aira udah jahat ya Buk? Aira merasa terlalu jahat dengan semuanya. Aira lebih mementingkan diri Aira tanpa sadar siapa aja yang udah berjasa untuk Aira."

Hanum mengusap buliran air mata Aira. Ia berusaha tersenyum menenangkan putrinya. Aira sakit sebab terlalu memikirkan apa yang telah ia lalui pada masa lalunya. Setiap malam Aira terus dihantui dengan rasa takut 7 tahun silam dirinya. Semua kembali berputar pada ingatan Aira. Aira terus meminta menceritakan bagaimana kejadian yang sebenarnya. Hanum Hanya bisa terdiam sebab ia takut Aira semakin parah. Rasa trauma kembali Aira rasakan.

"Semua sudah terjadi atas izin Allah."
"Aira harus apa Buk? Aira malu dengan mas Fauzan. Hiksss.... hiksss.... Aira udah terlalu jahat, Aira udah merendahkan harga diri mas Fauzan. Aira tidak menghargai sikap baik mas Fauzan, Buk. Hiksss.... hiksss...."
"Kamu tidak tahu semuanya Aira. Tidak apa-apa. Fauzan menghargai keputusan kamu. Nak Fauzan ridho. Sekarang, panjatkan doa. Minta ampun dan doakan nak Fauzan bisa dimudahkan atas hidupnya."

Desak tangis Aira mengiris hati Hanum. Ia memeluk erat tubuh Aira yang bergetar hebat.
"Aira gak tahu bagaimana harus membalas kebaikan mas Fauzan. Aira malah mengecewakan. Aira jahat Buk. Hiksss.... hiksss...."
"Sudah Aira. Jangan terus seperti ini. Ibuk gak mau kamu kembali ke diri kamu yang dulu. Aira yang sekarang harus ceria!"

💐~💐

"Kamu yakin Zan? Kalau memang tidak dari hati kamu, jangan memaksakan diri. Biarkan saja Mamamu itu."
"Apa lagi yang Fauzan cari? Menurut Fauzan, ini salah satu cara untuk bisa melupakan semuanya Pa. Fauzan gak mau terus hidup dalam kekecewaan. Fauzan harus ikhlas kan?"
"Tapi bukan mengorbankan orang lain. Kamu mengorbankan wanita lain untuk menyembuhkan rasa patah hati kamu. Dia akan berada seperti di posisi kamu sekarang ini Zan. Menjalani rumah tangga itu tidak mudah. Jangan cepat mengambil keputusan."

"Laki-laki itu memang harus tanggap mengambil keputusan. Jangan lambat seperti Papa kamu!"
Wira menggeram dengan kehadiran istrinya yang terus saja akan memancing perdebatan. Sejak kegagalan Fauzan, Mayang terus saja meremehkan. Ia terus mencuci pikiran Fauzan agar mau mengikuti keinginannya. Dan benar saja, Fauzan dengan semudah itu mengiyakan. Tanpa pikir panjang terlebih dahulu.

"Yang kamu pikirkan hanyalah ego kamu. Masa depan anak kita terus saja kamu ikut campur."
"Masa depan yang mana? Si tukang kue itu yang kamu bangga-banggakan sudah menolak mentah-mentah anak kita. Seenaknya dia merendahkan anakku. Emangnya sehebat apa dia?! Toko kecilnya itu bisa langsung aku beli dan ku hancurkan."
"Udah Ma, CUKUP!!!" Bentak Fauzan.

"Jangan menambah pusing di kepala Fauzan! Fauzan udah menentukan apa yang akan Fauzan jalani. Papa harus mengerti! Keinginan Papa juga kan, supaya Fauzan cepat menikah. Apapun kemauan kalian Fauzan ikuti!! Fauzan gak tahu akan seperti apa ke depannya. Fauzan cuma ingin mengikuti alur yang udah digariskan untuk Fauzan." Berlalu pergi menuju kamarnya. Ia membanting kuat pintu dan menjambak kuat rambutnya geram.

Menundukkan kepalanya menyembunyikan rasa sedihnya. Ia mengeratkan kepalan tangannya. Hatinya serasa ingin berteriak. Namun tidak akan ada habisnya.

Keputusan dirinya sudah bulat. Ia menerima apa saja yang memang telah digariskan untuknya. Ia yakin, suatu saat luka hatinya akan sembuh. Akan hilang seiring berjalannya waktu dengan terbiasa. Terbiasa menerima orang baru pada hatinya.

"Kalau memang akhirnya seperti ini, kenapa Engkau harus mempertemukan aku dengan Aira? 7 tahun aku sudah berhasil melupakannya. Tapi kenapa Engkau hadirkan Aira kembali di hadapanku sampai aku kembali jatuh hati dan patah hati. Aku manusia biasa. Terkadang aku punya titik rapuh. Aku gak bisa mencintai wanita lain. Apa benar aku bisa? Apa benar aku bisa bahagia ya Allah....? Aira yang ku mau. Aira yang ku mau. Hiksss.... hiksss...."

Bersambung....

Menanti LillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang