🍂 Terjawab Sudah 🍂

833 70 37
                                    

"Sampaikan terimakasih ku ke mas Fauzan ya Ai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sampaikan terimakasih ku ke mas Fauzan ya Ai. Aku yang punya niatan traktir kalian semua kok malah jadi mas Fauzan yang bayar. Mana aku penyebab sakit perutnya mas Fauzan. Jadi merasa gak enak."
"Enggak apa-apa Cha. Bukan salah siapa-siapa. Mas Fauzan gak nyadar sebanyak itu makan sambal. Alhamdulillah sekarang udah membaik. Kita yang seharusnya merasa gak enak hati karena kemarin udah pulang lebih dulu. Datang telat pulang lebih awal."

"Hihihi.... Iya gak apa-apa. Urgent kan? Kasihan banget ngelihat raut mas Fauzan yang kepedasan kayak gitu. Lain kali aku traktir ulang ya. Aku jamin gak akan merugikan mas kamu lagi Ai. Bahagia terus ya pasutri. Jadi iri sama kamu. Sukses dan dapat jodoh yang no debat. Perfect husband banget pokoknya."
"Oh ya, Ai. Btw.... sehabis malam kemarin Dafa jadi berbeda Ai. Terus cari sumber debat yang mancing emosi kita semua. Tapi aku yakin sih, sebab patah hatinya ke kamu. Hihihi...."

"Kamu buat aku kecewa Aira. Hahaha.... Sakit ya. Aku berusaha cuek dan tahan rasa sakit di hatiku, tapi tetap aja kelihatan. Maaf soal semalam. Itu bentuk rasa cemburuku."
Pesan suara yang sengaja Dafa Kirim sudah lebih dulu ia dengar. Aira tak membalas. Ia bingung harus berlaku seperti apa. Semua sudah sangat asing dan sudah tidak pantas rasanya terlalu memperdulikan satu pria yang sampai kapanpun tidak akan diizinkan untuknya.

"Ai! Kok diam aja sih? Aku izin udahan dari sekarang ya? Ini mau berangkat kerja. Doain semoga aku betah ya Ai! Assalamualaikum."
"Iya Cha, amin. Waalaikumsalam."
Meninggalkan area balkon. Ia memperhatikan kesibukan Fauzan mengumpulkan beberapa berkas yang bertebaran di atas ranjang.

Ia mengambil handuk yang masih terletak begitu saja di sisi ranjang satunya lagi. Memang belum ada interaksi panjang diantara mereka berdua. Keduanya saling sibuk dengan masing-masing.

"Hari ini Aira gak ke toko Mas. Jadi mas gak perlu antar Aira."
"Ok. Mas juga buru-buru. Albi masih tetap mau di sini. Udah dibujuk dengan mbak Delia dan mas Arbani tetap gak mau pulang. Jadi nanti Aira temani main dulu ya. Mas usahakan pulang cepat. Mas mau ajak kalian jalan-jalan bareng Ibuk juga."
"Ok."

Menghentikan sebentar kesibukannya.
"Kemungkinan.... mas ada jadwal keberangkatan ke Bali. Tapi belum bisa ditentuin kapan. Nanti mas berikan perintah ke supir kantor mas untuk mengantar jemput kamu kemanapun kalau Aira perlu."
"Enggak usah Mas! Rencananya Aira mau ambil motor Aira aja. Biar gampang kemana-mana."

"Aira, mas gak izinkan. Kemanapun Aira pergi tetap harus sama mas atau supir kantor mas."
"Mas, apa salahnya? Aira mau bebas kemana aja. Kalau terus bergantung dengan orang lain, Aira gak bisa kemana-mana. Terkadang Aira juga perlu motor semisal ada pemesanan yang padat."
"Aira kan ada karyawan. Kenapa harus Aira juga?"
"Semua udah punya tugas masing-masing. Kalau Aira bisa membantu kenapa gak mas?!"

Mengalihkan pandangannya. Ia tidak suka dengan tatapan Aira yang selalu menajam ke arahnya. Aira terus mudah melawan argument nya dan tak jarang bernada ketus dan tinggi terhadapnya.

"Ya udah, terserah Aira. Tapi yang jelas.... setiap kemanapun Aira, tetap harus izin ke mas. Karena mas suami Aira. Melakukan apapun atau melangkah sejengkalpun tanpa sepengetahuan suami itu dosa besar Sayang. Aira tahu kan?"
Mengangguk dan mulai mereda dengan hatinya yang semula memanas sebab egonya.

Menanti LillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang