🍂 Luka Baru 🍂

210 23 7
                                    

"Kamu pandai mempertahankan anak ini untuk menjadi penerima wasiat semua harta anakku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu pandai mempertahankan anak ini untuk menjadi penerima wasiat semua harta anakku. Kehidupan kamu dan keluarga kamu menjadi terjamin sebab anakku Aira."
"Intinya, kamu hanya mau semuanya yang anakku punya. Mau seenaknya memakai harta anakku. Susah ya mengaku seperti itu. Sok polos!"

Sepanjang hari, itu saja yang terlintas dalam pikirannya. Kalimat yang terus berusaha mematahkan semangatnya. Sebegitu buruk kah ia? Harus sampai terus menerima hinaan dari wanita yang ingin ia sebut Mama.
"Ya ampun Buk! Itu ayam yang Ibuk ungkep sudah mengering!"

Tersentak dari teguran bik Jum. Suara gemericik ayam yang tengah ia ungkep agar sedikit empuk dan meresap semua bumbu-bumbunya malah sudah hampir mengering. Mematikan cepat kompor dan mengasingkan pada tempat lainnya. Jika dibiarkan akan menjadi gosong.

"Ya Allah.... Untung ada Bibik. Aira gak tahu udah sampai sekering ini Bik."
"Bibik lihat dari tadi si Ibuk melamun terus. Kebetulan bibik lewat, sudah kecium aroma hampir gosongnya Buk. Tapi, masih terbilang aman kan Buk ayamnya?"
Membolak balik ayam yang terletak paling bawahnya. Merasa lega sebab tidak terlalu merusak dan merubah rasanya yang sudah Aira cicipi.

"Alhamdulillah, aman Bik. Terimakasih ya Bik."
"Iya, Buk. Hati-hati saja. Nanti malah jari si Ibuk yang terluka lagi. Luka kemarin baru mengering. Eh, malah ditambah luka baru. Bibik lanjut ke depan ya Buk."
"Iya, Bik."

Mengutuki dirinya yang bodoh. Semua menjadi kacau jika ia sudah tenggelam dalam lamunan pemikiran kusutnya. Beberapa hari ini pun, Fauzan mengeluh ke dirinya yang menjadi sering banyak terdiam. Termenung dan sulit diajak bicara. Pemikirannya hanya berpusat pada jalan pikiran Mama Mertuanya.

"Bismillah. Semoga hari ini tidak lebih buruk di hari sebelumnya. Sampai kapanpun, doa restu Mama yang aku perlukan."
Kembali memfokuskan diri pada semua bahan-bahan masakan. Ia terniat membuat beberapa menu yang akan ia bawa untuk Lisa, dirinya dan Mama. Ia akan tetap mencoba membiasakan diri berbaur pada Mertua yang masih saja menolaknya.

Dalam kondisi diri yang sudah lumayan sulit untuk bergerak lincah, Aira paksakan untuk beraktivitas sekedar melupakan hari-hari membosankan. Fauzan sudah kembali aktif pada kantornya. Maka kurang terhibur diri tak ada gurauan sang suami usilnya.

"Bik, Aira mau pergi sekarang ya. Tolong jaga rumah ya Bik. Sekiranya udah selesai dan Bibik mau pulang, bawa aja kuncinya. Aira bawa kunci cadangan."
"Oh, baik Buk. Ibuk perginya sama siapa?"
"Pak Hamdan udah di depan. Aira pergi sekarang ya Bik. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."

Menenteng bungkusan yang sudah berisi beberapa box makanan. Dibantu pak Hamdan dan membawa ia langsung pada tujuan pertama. Dimana kosan Lisa yang sudah sangat sering ia kunjungi.

Baru saja ia masuk pada area pekarangan kosan sudah terlihat Lisa tengah berjalan santainya.
"Mbak!"
"Aira?! Hai, sini Ai!"
Menghampiri bumil yang juga sama sudah membesarnya perut.

"Masyaallah.... Panas-panas begini Mbak keluar. Enggak gerah Mbak? Ayo masuk!"
"Ngerasa bosan di kamar terus Ai. Aku baru selesai ngegosok beberapa pakaian mereka. Pengin stretching dulu. Aku yakin sebentar lagi kamu pasti datang. Sekalian aja aku nunggu di sini. Eh, ternyata benar."
"Hihihi.... Udah sampai hafal ya Mbak. Oh iya, menu hari ini Aira buatkan Opor Ayam. Terus, Aira juga buatkan Acar Timun."

Menanti LillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang