🍂Menginginkannya🍂

595 60 2
                                    

Aira Azzahra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aira Azzahra. Dinobatkan akan melaksanakan wisuda kelulusan gelar sarjananya 3 minggu ke depan yang sudah ditentukan bersama mahasiswa mahasiswi yang lainnya. Segala persiapan sedang ia persiapkan dan ia urus dengan sebaik mungkin. Ia sudah memberi pengarahan kepada para karyawannya agar menghandle sementara toko tanpa bantuannya.

“Alhamdulillah.... sebentar lagi anak Ibuk sarjana. Selamat ya Aira.”
“Alhamdulillah Buk. Ini berkat doa Ibuk juga. Impian dan cita-cita Aira tercapai. Insyaallah Aira akan selalu mengingat pembelajaran dan ilmu-ilmu yang Aira dapatkan selama ini dalam kehidupan Aira, Buk.”
“Iya Nak. Tapi ingat, tetap etika yang paling utama. Ilmu tidak ada artinya kalau etika dalam diri kita tidak baik.”
Aira mencium tangan dan memeluk erat tubuh Ibuk. Mereka saling mengucapkan rasa syukur atas nikmat Allah yang diberikan.

💐~💐


“Wahhh.... aku dengan bangganya dijamu hangat oleh sahabatku sang pebisnis hebat ini. Aku salut sama kerja keras dan ambisi kamu Zan.”
Fauzan tertawa lepas mendengar pujian sang sahabat yang mampu membuat ia melayang.

“Ini memang impianku Arbani. Aku gak mau bergantung dengan kesuksesan orang tuaku. Yaaa.... walaupun sempat stres dan capek banget. Tapi, berkat ambisiku sekarang aku bisa memetik ini semua.”
“Tetap harus rendah hati toh kawan. Harus selalu mengingat kita itu dulu siapa.”

Fauzan membenarkan nasihat-nasihat Arbani. Karena segala sesuatunya yang kita punya itu hanyalah titipan dan tidak akan kekal.
“Oh iya, sebenarnya ada perlu apa kamu mengajakku bertemu Zan? Untung saja hari ini aku tidak terlalu sibuk. Jadi, aku masih bisa mengambil jam istirahat ku lebih.”

Fauzan mulai menarik napasnya dalam-dalam. Ia menatap wajah serius Arbani yang siap untuk mendengarkan.
“Aku menginginkan Aira.”

Fauzan tak pandai berbasa-basi mengawali pembahasan yang ingin ia utarakan. Alhasil, ungkapan hati yang selama ini ia pendam lolos terdengar langsung ke pendengaran Arbani. Arbani terdiam lama mencerna setiap kata-perkata yang Fauzan ucapkan.

“Menginginkan Ai-ra? Maksud kamu bagaimana Zan?” Meminta penjelasan dari pengucapan sahabatnya.

“Aku mencintai Aira. Aku mengaguminya sejak lama Arbani. Ok, aku akan berkata jujur dan gak mau lagi untuk memendam perasaanku. Aira gadis remaja yang dulu selalu mampu membuatku betah bertandang ke rumah Delia saat kita kumpul dulu. Aira yang selalu mampu membuat pikiranku bingung. Sebenarnya aku sempat frustasi setelah peristiwa itu terjadi Arbani. Kamu bilang, dia pergi ke kota lain untuk menenangkan diri. Selama itu aku menunggu dan berhasil melupakannya. Sekarang, aku merasa beruntung diberi kesempatan untuk bertemu dan menatapnya kembali. Aku sudah bisa memastikan kalau aku benar-benar menginginkannya Ar.”

Arbani sejenak tertawa mendengar ocehan panjang lebar dari mulut sahabat lamanya ini. Ia masih tak percaya dan merasa geli dengan penuturan Fauzan.

“Kamu jangan main-main Zan! Aira bukan perempuan sembarangan. Dia sangat berbeda dengan wanita-wanita malammu.” Terdengar sedikit ketus dari nada bicara Arbani.

Fauzan menggaruk gusar tengkuknya.
“Arbani, please.... aku gak sekotor itu. Aku memang masih sering ke Club. Tapi untuk wanita-wanita itu, mereka hanya duduk dan menemaniku saja tanpa melakukan apapun. Gak lebih.”

BRAKKK!!
Gebrakan pada meja cukup mengubah suasana menjadi mencekam. Fauzan menelan saliva dengan susah payahnya. Ia bisa melihat perubahan raut wajah Arbani yang menatapnya tajam dengan tangan terkepal di atas meja.

“Aku gak akan rela membiarkan Aira menikah dengan pria buaya seperti kamu Fauzan. Walaupun aku ini sahabatmu dan kita berteman baik, tetap saja aku tidak mau Aira jatuh ke tangan yang salah. Aira wanita baik-baik. Dia sudah mampu merubah kehidupannya menjadi lebih baik Zan. Tolong jangan kamu rusak kehidupannya lagi Zan!”
“Ck, Arbani, aku sanggup merubah hidupku. Aku akan belajar menjadi yang terbaik untuk Aira. Aku janji Arbani. Aku benar-benar menginginkan Aira untukku. Aku gak mau kehilangan kesempatanku lagi Ar.”

Arbani memalingkan wajahnya. Ia sangat tak menyangka Fauzan segila itu.
“Menginginkan Aira? Aira bukan mainan untuk kamu jadikan sebagai pelampiasan nafsu kamu saja Zan. Aku tetap tidak rela jika kamu punya niatan lebih ke Aira Adik Iparku!!”

Arbani menyudahi pertemuannya. Emosinya tidak stabil. Fauzan masih terdiam dengan pemikirannya sendiri.
‘Apa yang salah denganku? Aku menginginkan Aira untuk menjadi istriku. Kenapa semua jadi rumit begini sih?’ Menggaruk gusar tengkuknya kesal.

💐~💐


“Alhamdulillah.... akhirnya usaha dan niat kita selama ini benar-benar akan selesai.”
“Belum Cha. Masih panjang perjuangan kita. Gelar gak ada artinya kalau kita gak bisa pertanggung jawabkan dengan baik. Setahuku, mencari lowongan pekerjaan sesuai passion kita itu susah. Masih banyak kita temui para sarjana yang menganggur tanpa pekerjaan.”

“Benar banget Nis. Apalagi setelah mendapat gelar nanti, orang tua kita pasti sangat mengharapkan anak-anaknya menjadi orang sukses atau bekerja di tempat yang layak dan terjamin. Kalau menganggur, aku sangat merasa bersalah dan malu dengan gelar yang ku punya. Menjadi harapan keluarga itu berat banget ya.”

Aira menggenggam bergantian telapak tangan teman-temannya. Ia juga dapat merasakan keluh kesah para sahabatnya.
“Insyaallah dengan kekuatan doa dan terus berikhtiar, semua yang kita inginkan akan tercapai. Percaya dan yakini bahwa Tuhan itu selalu ada di sisi kita.”
Jessy dan Elsa saling merangkul menyatukan semangat mereka.

Tak ingin berlarut dalam kesenduan, Jessy melepas rangkulan mereka. Menatap ke arah Aira dengan kedua bola matanya yang berbinar.

“BTW, ada yang mau dilamar nih kayaknya. Hihihi....” Celetuknya.
Aira menatap heran maksud dari perkataan Jessy. Semua teman-temannya tertawa kecil dan saling mengode.

“Jangan pura-pura gak tahu deh Aira.” Elsa mencolek pinggang Aira.
“Ada apa sih? Aku benar-benar gak paham maksud kalian.”

“Kamu memang gak peka banget ya Aira. Kamu lupa? Keseriusan Dafa ke kamu itu seperti apa. Jangan melupakan saat Dafa pernah ngungkapin perasaannya ke kamu dan niatan baiknya untuk melamar kamu Aira.”

Aira menghela napas.
“Itu hanya omong kosong. Kalian tahu kan, Dafa itu bagaimana orangnya. Dia cuma sekadar menjahili ku.”

Acha menepuk keningnya saking gemas dengan tanggapan polos Aira.
“Kenapa sih hati kamu itu susah untuk terbuka. Jelas-jelas Dafa udah seperhatian, tulus dan caper muluk ke kamu. Masih aja dianggap biasa-biasa aja.”
“Iya nih. Aira parah banget.”

Aira menatap jauh untuk mengalihkan dari tatapan mereka.
“Aku gak mau terlalu cepat dalam mengambil keputusan. Lagipula, jodoh kita itu sudah tertulis di Lauhul Mahfudz. Aku gak mau gegabah dan mendahului takdir Tuhan. Kalau memang berjodoh, Insyaallah dengan cara apapun pasti ada jalan untuk aku dan siapapun itu nantinya akan bertemu.”

“Kata-kata kamu menamparku Aira. Kamu selalu bisa bertindak bijak.”
“Jodoh pasti bertemu. Sama seperti bait lirik lagu Afgan. Hehehe....”

Nisa menoyor kepala Acha. Mereka pun kembali tertawa terbahak. Mengisi waktu sore ceria mereka dengan curhatan-curhatan lucu, memalukan dan unik dari masing-masing pengalaman hidup mereka. Hingga waktu perjumpaan pun berakhir.

Bersambung....

Menanti LillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang