🍂 Take Off 🍂

852 65 86
                                    

Mencengkram geram rambut-rambutnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mencengkram geram rambut-rambutnya. Menelungkupkan sebentar kepalanya. Mencoba menenangkan rasa dongkolnya menghadapi kekeras kepalaan Aira.
"Mas gak mau terus-terusan memarahi kamu Aira. Tapi, ada aja terus bahan perdebatan kita. Kamu sulit ditebak. Mas bingung dengan kamu."

Menyudahi semua kesibukannya. Menatap layar handphone miliknya. Mencari satu nomor yang ingin ia mintai bantuan. Menunggu beberapa menit hingga mendapatkan respon.
"Halo, Zan. Ada perlu apa Zan? Tenang aja Zan. Semua yang perlu aku bawa udah aku persiapkan."
"Aku membatalkan penerbanganku besok."
"Hah?! Batal?! Maksud Lo apaan Zan?!"

Terdiam sejenak mendengarkan semua amukan Arlan padanya. Aira benar-benar mengacaukan semua yang sudah ia rencanakan.
"Zan! Jawab gue!! Lo kenapa sih?! Gue kesel banget dengan lo yang suka seenaknya gini. Gue paham, gue ini cuma bawahan Lo. Tapi gak usah gini juga dong! Apa alasan Lo ngegagalin schedule yang udah Chika atur."

"Aku tetap berangkat. Tapi beda jadwal penerbangan. Aira pengin ikut denganku."
"Aira? Kok mendadak begini? Terus kapan berangkatnya Zan? Lo harus ingat jadwal meeting Lo, pertemuan klien dan ngeroscek semua kinerja staff-staff Lo Zan."
"Aku usahakan cari penerbangan di hari yang sama."

"Istri Lo plin plan juga ya? Apa Aira gak ngerti kalau Lo lagi genting-gentingnya Zan? Dan.... Bukannya Lo juga udah nyusun rencana spesial untuk Aira? Chika udah atur semuanya Zan."
"Mau bagaimana Lan? Aku mencoba mengikuti semua keinginan Aira."
Menatap cincin yang masih terlingkar manis pada jarinya.

"Udah dulu ya Lan. Aku mau menyiapkan semuanya dulu. Aku juga tengah pusing. Terimakasih."
TIT....!
Membereskan terlebih dahulu Laptop miliknya. mengumpulkan semua berkas-berkas penting yang perlu ia bawa besok. Melangkah cepat ke arah Kamarnya.

Pada Kamar, ia melihat Aira sudah lebih dulu menyibukkan dirinya memilah-milah pakaian untuk mereka. Tetap kekeh dengan pendiriannya. Ingin mengikuti perginya Fauzan. Di saat mereka saling bersitatap, tanpa rasa bersalah ia menyunggingkan senyumannya. Fauzan menghela pasrah ulah Aira. Mau bagaimanapun, ia juga tetap tidak tega melihat sang istri yang ia biarkan pergi begitu saja tanpa pengawasannya.

Tak masalah pada tiket penerbangan yang terbuang sia-sia.
"Mas tenang aja. Aira bisa menjaga diri sendiri di saat keberangkatan besok. Hmm.... Aira bakal berusaha sendiri untuk memesan tiketnya besok. Kalau belum jadwal keberangkatan Mas, Mas boleh bantu arahin Aira dulu ya!"
"Berangkat bareng sama mas!"
"Hah?! Eh, gak usah Mas! Enggak apa-apa, Aira berangkat sendiri aja. Aira cuma perlu alamat Resort Mas dan arahan dari Mas. Mas kan udah ada jadwal keberangkatan sendiri."

"Jangan ngebantah! Pergi bareng mas atau gak sama sekali!"
Cemberut dengan ketusnya Fauzan kembali.
"Ok. Terserah Mas. Asalkan Mas jangan lagi menyalahkan Aira! Aira mau mencoba mengalah untuk gak terlalu merepotkan Mas. Tapi kalau Mas yang begini, ya udah bukan salah Aira kan?"
"Mas yang rela mengalah dengan kekeras kepalaannya kamu Aira." Gerutunya.

"Ya udah ih! Jangan marah-marah terus dong! Sekarang Mas coba lihat dulu! Ini Aira udah persiapkan beberapa pakaian untuk Mas. Ngomong-ngomong, perjalanan bisnis Mas berapa hari? Tujuan kita kemana aja?"
"Bali 4 hari, Bogor 4 hari."
"Lebih dari seminggu ya? Coba aja kalau Aira tinggal, pasti boring banget. Sendirian di rumah gak ada teman ngobrol."
"Cih! Teman ngobrol? Yang ada kita berdebat terus Aira."
"CK, Mas ini....! Tolong dong, jangan merusak suasana kita. Aira udah gak mau marah-marah lagi."
"Udah makanan mas setiap harinya dapat amarah dari kamu."

Menanti LillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang