🍂Murka Delia🍂

511 70 1
                                    

Arbani berdiri termenung di ambang pintu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arbani berdiri termenung di ambang pintu. Angin malam sengaja ia izinkan masuk bebas ke dalam rumahnya. Delia menatap heran dengan ulah suaminya yang tak memperdulikan ia tengah kesulitan menidurkan Albi. Berkat kesabarannya, Albi sekarang sudah pulas dalam alam mimpinya.
"Sekalian aja Mas keliling komplek. Biar kembung tuh perut!!"
Suara besar Delia mengembalikan kesadaran Arbani.

Ia termenung terlalu jauh. Sampai-sampai tak tahu keberadaan Delia di belakangnya. Tersenyum kikuk mencoba merayu wajah cemberut istrinya.

"Maaf Sayang, Mas terlalu banyak pikiran."
"Apa yang dipusingkan sih? Mas gak menganggap Delia ada ya. Kalau ada yang dibingungkan cerita dong Mas! Jangan stres sendiri."

Arbani mengambil posisi duduk di sebelah Delia.
"Ini mengenai Fauzan."
"Fauzan? Fauzan kenapa Mas?"
Arbani menggaruk gusar tengkuknya. Raut gelisahnya sangat kentara.
"Entahlah, Mas bingung dengan anak itu."

Delia tak puas dengan jawaban Arbani yang malah membingungkannya.
"Gimana sih Mas!! Mas mancing penasaranku aja. Cerita dong! Udah lama banget aku gak dengarin cerita kamu tentang sahabat karib kamu itu. Yang dulu selalu melibatkan kamu kalau sedang ada masalah. Sekarang apa lagi?" Geramnya.

"Fauzan cerita ke aku, kalau dia.... dia menginginkan Aira."
Delia melebarkan kedua bola matanya. Terdiam mencoba memahami perkataan Arbani.

Arbani menyenderkan punggungnya merilekskan tubuh lelahnya. Mereka berdua sama-sama terdiam sejenak. Delia menatap kembali raut Arbani.
"Maksud kata dari menginginkan itu apa Mas? Aku sedikit tahu Fauzan seperti apa. Dia bukan pria baik-baik. Ma-maksudku, Fauzan.... Fauzan itu selalu bermain-main dengan wanita Mas. Mas juga tahu kan Fauzan itu seperti apa?"

Delia tak berhenti mendeskripsikan kelakuan Fauzan yang sangat jelek ia nilai.
"Manusia memang gak ada yang sempurna, tapi Fauzan benar-benar bukan pria yang baik Mas. Bermain wanita. Bagaimana nasib Aira kedepannya?"

Arbani tampak bingung. Ia memang sudah menduga bahwa hal ini akan sangat tidak bisa diterima oleh Delia.

"Aku tahu Del. Tapi menurutku, kita jangan terlalu menilai seseorang dari luarnya saja. Semua bisa berubah kan? Lagipula, hal ini jangan kita anggap serius dulu. Anggap saja itu hanya gurauan Fauzan. Terkadang dia memang suka bicara seenaknya."
"Tapi aku bisa ngerasain tatapan Fauzan ke arah Aira kemarin itu berbeda Mas. Bisa jadi Fauzan benar-benar menargetkan Aira selanjutnya untuk ia permainkan."

"Astaghfirullah Sayang.... istighfar! Jangan berprasangka buruk dulu. Kita lihat saja tindakan Fauzan. Kalau dia masih mengungkit hal ini denganku, itu tandanya ia benar-benar punya niatan untuk mendekati Aira. Aku juga ragu dengan Fauzan."

Delia merasa pusing ketika ia terlalu memikirkan semuanya. Menatap rapat pintu yang terbuka. Menidurkan dirinya pilihan yang tepat.

"Ayo tidur Mas! Pokoknya, Mas harus awasi teman Mas itu. Aku gak mau Aira kembali terpuruk. Kita sama-sama tahu kalau Aira sangat membatasi dirinya dari lelaki manapun. Jangan sampai hanya satu perkara lelaki kita kehilangan Aira lagi Mas."
Delia berbicara dengan penuh penegasan. Arbani lemas memikirkan perangai Fauzan yang berhasil memancing perdebatannya dengan Delia.

💐~💐

"Maaf mas Fauzan, dari kemarin sampai sekarang pun mbak Aira memang tidak ke sini. Saya juga baru diinfoin nih Mas. Mbak Aira sedang mempersiapkan wisudanya nanti."
"Wisuda?"
Pelayan wanita itu mengangguk.

"Emangnya mas Fauzan tidak bertanya langsung ke mbak Airanya? Kan saya sudah kasih nomor Handphone nya ke Mas. Kasihan Masnya sudah bolak balik ke sini tapi mbak Aira gak ada. Hihihi...."

Fauzan malah mendapat ledekan. Ia memang bodoh. Nomor sudah ia dapatkan tapi masih belum berani lancang untuk menghubungi Aira. Ia beranjak dari area toko. Terdiam sebentar di dalam mobilnya.

'Aira bukan mainan untuk kamu jadikan sebagai pelampiasan nafsu kamu saja Fauzan. Aku tetap tidak rela jika kamu punya niatan lebih ke Aira Adik Iparku!!'

"Aku juga punya hati, Arbani. Aku bukan sebrengsek yang kamu kira. Kalau aku benar-benar brengsek, sudah sejak dulu aku yang akan mencelakai Aira pertama kalinya."
Menutup kelopak mata lelahnya.
'Aira.... aku memang bukan pria baik. Tapi beri aku kesempatan menjadi yang terbaik untuk kamu.'

💐~💐

Malam terakhir bagi Aira untuk melepas penatnya selama hampir 4 tahun lamanya ia berjuang menimba ilmu. Esok hari ia sudah akan memakai outfit wisudanya. Setelan kebaya tergantung rapi di dinding kamarnya. Semua perlengkapan telah disiapkan.

"Akhirnya.... Adikku akan menerima gelarnya. Mbak bangga dengan semua pencapaian kamu Aira."
"Kita bersyukur kepada Allah swt yang sudah memberikan kesehatan hingga sekarang kita ada kesempatan untuk bisa menemani Aira dalam wisudanya besok. Terimakasih ya Nak, sudah membuat Ibuk bangga."
"Iya Buk. Ini semua juga berkat doa Ibuk, Mbak dan mas Arbani juga. Support kalian membuat Aira kembali mengukir kehidupan Aira yang baru. Terimakasih semuanya."

Tangan saling merangkul memeluk Aira. Gadis kecil mereka sudah berhasil melewati masa suram yang pernah ia alami dulu. Pemandangan itu sekilas mengharukan bagi Arbani. Namun, sepersekian detik perhatiannya tersita oleh suara dering notifikasi pesan masuk dari handphone nya. Ia meringis kesal sebab Fauzan lah yang terus mengganggunya.

Fauzan : "Arbani, tolong jawab teleponku!"
"Ih!! Kesal banget dengan anak satu ini. Apa kamu gak ada urusan lain selain mengusikku?!"

"Kenapa Mas?" Delia penasaran akan kekesalan Arbani.
"Bu-bukan apa-apa kok. Mas keluar sebentar ya?"
Delia mengangguk. Dan lebih tak perduli sebenarnya. Malam ini, Delia berencana ingin tidur di kamar Aira. Berbarengan dengan Ibuk sebagai bentuk rasa kangen mereka untuk saling bertukar cerita dan tertidur saling berpelukan.

Arbani menelepon nomor Fauzan. Tidak lama, panggilannya langsung mendapatkan respon.

"Assalamualaikum. Ada apa sih Zan?! Kamu menggangguku!" Amuknya.
"Waalaikumsalam. Arbani, tolong jangan membuat aku semakin gila Arbani!"
"Kamu memang gila Fauzan. Sudah ku katakan, aku gak akan ngizinin kamu untuk dekati Aira. Delia juga tidak merestui niatan gila kamu itu Zan."

"Ayo lah Arbani.... Aku bisa memberikan apapun untuk kebahagiaan Aira."
"Hartamu tidak ada apa-apanya Zan! Jangan merayu Aira dengan kekayaanmu!! Aira bukan gila harta!!!"
"Ok, Arbani aku paham. Jadi apa salahnya kamu memberiku peluang untuk mendekati Aira?"

Terdiam di antara mereka. Arbani benar-benar pusing dibuat oleh Fauzan.
"Aku akan berhenti jika Aira benar-benar menolakku. Aku janji gak akan mendekati dia lagi."

'Benarkah Fauzan serius dengan perkataannya?' Perang batin Arbani. Lama terdiam hingga satu ide gila muncul di kepalanya.

"Ok, Zan. Besok Aira akan wisuda. Kalau kamu mau datang, silahkan! Aku tetap mengawasi kamu. Kalau Aira merasa risih dengan cara kamu, aku harap kamu bisa menjauh darinya Fauzan!"
"Tenang saja sahabatku. Aku punya segala cara. Kamu harus tahu, aku belum pernah sebahagia ini sebelumnya. Hahaha.... Thanks, Bro!"

"Besok langsung saja datang ke kampus Aira! Assala.... mualaikum."
Menatap sebal layar handphone nya sebab Fauzan langsung mengakhiri panggilan tanpa membalas salamnya.
"Seperti ini yang mau jadi calon Adik Iparku? Enggak ada tata kramanya banget kamu Zan."

Bersambung....

Menanti LillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang