🍂Kecupan Fauzan🍂

700 67 11
                                    

"Eh, buk Hanum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Eh, buk Hanum."
Hanum memberikan senyuman ramahnya.
"Sudah pulang Buk?"
"Selamat ya Buk, atas pernikahan Aira dan suaminya. Cocok loh mereka berdua. Yang satu ganteng, yang satu cantik."
"Pemilihan yang bagus. Jadi Aira enak ya. Berjodoh dengan orang yang tidak sembarangan. Dengar-dengar, suaminya Aira pemilik hotel Nawangsa kan Mbak? Pasti terjamin kehidupan Aira."
"Dari sekian banyak laki-laki yang melamar Aira, pada akhirnya sudah tertuju pada satu laki-laki berada. Ternyata memang sudah ada target to Buk. Makanya Aira selalu menolak."
Tersenyum kembali menanggapi semua obrolan omong kosong para Ibuk-ibuk.

"Alhamdulillah. Doakan saja semuanya yang baik-baik. Saya tidak memperdulikan sehebat apa manantu saya. Rezeki, kekayaan hanya titipan Buk. Saya mengharapkan putri saya bahagia dengan bimbingan menantu saya. Bukan sebab harta."

Ibuk-ibuk komplek saling menatap tidak sukanya dengan tanggapan Hanum. Hanum mengetahui arah pembicaraan semuanya. Seakan ingin memancing dirinya. Ia pun dengan cepat mengangkut semua apa-apa saja yang ia beli. Menuju pemilik warung dan berniat ingin langsung membayar.
"Semuanya berapa Buk?"
"Seratus dua puluh lima ribu buk Hanum. Acuhkan saja mereka-mereka. Ke sini bawaannya selalu ngegosip muluk."

Hanya tersenyum dan pamit lebih dulu meninggalkan semua ibuk-ibuk komplek yang masih dengan tatapan sinis mereka ke arah langkahnya Hanum. Hanum sendiri menghela napasnya pasrah dengan nyinyiran mereka.
'Mau bersikap waras bagaimanapun kalau mereka tidak suka ya pasti akan ada saja bahan gosipan mereka. Cukup sabar saja Num. Semoga anak mantuku dijauhkan dari doa-doa buruk mereka.'

Masih berada di kamar Aira. Fauzan yang melihat Aira sudah selesai pada aktivitasnya mencoba mendekat dan menarik kedua tangan Aira menuntunnya ke arah ranjang. Aira sedikit menjaga jarak sebab bingung hal apa lagi yang akan Fauzan lakukan. Ia menelisik langkah dan gerakan tangan Fauzan membuka kopernya. Dan terduduk kembali di hadapan Aira.

"Mas gak mau meninggalkan kewajiban mas."
Meraih tangan kanan Aira. Menaruh 3 Debit Card pada telapak tangan Aira. Aira mengernyit seakan meminta penjelasan.
"Nafkah mas. Tiga kartu ini sudah menjadi milik Aira. Kartu yang ini, untuk kebutuhan atau keperluan rumah tangga kita. Yang ini, untuk Aira gunakan belanja apapun yang Aira inginkan. Khusus untuk Aira aja. Dan yang ini, tabungan masa depan kita. Masa depan anak-anak kita nanti juga. Setiap bulannya mas akan transfer terus ke semua nomor rekening ini."

Aira memperhatikan semuanya.
"Satu kartu aja udah cukup Mas. Aira juga punya simpanan untuk membantu keperluan lainnya."

Fauzan menggeleng menolak usulan Aira.
"Enggak Sayang. Uang kamu ya uang kamu. Sekarang Aira tanggung jawab mas. Semua yang Aira inginkan, mas penuhi."
"Terus Mas gimana?"
"Mas ada satu kartu. Itu udah cukup untuk keperluan mas. Jadi jangan khawatir Sayang." Menyentil hidung Aira.

Masih memperhatikan akses 3 kartu debit milik Fauzan. Rasanya ia belum berhak memilikinya sebab ia masih menganggap pernikahan dirinya dan Fauzan baru di tahap awal ia belajar menerima. Tapi Fauzan sudah mempercayai dirinya sepenuhnya. Sedangkan ia, masih terus berubah-ubah sikap menanggapi setiap perlakuan Fauzan. Sedikit merasa tidak enak hati.

Menanti LillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang