"Tadi itu apa?"
"Itu berkelahi. Hal yang terjadi ketika tidak ada lagi kata-kata yang bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah. Semua laki-laki mengalaminya."
"Apakah berbahaya?"
"Kalau kau menggunakan alat-alat yang berbahaya, tentu berbahaya. Bisa menghilangkan nyawa orang lain. Bisa membunuh."
Bisa membunuh. Bisa membunuh.
Membunuh....
Kyle membuka matanya. Seluruh tubuhnya dipenuhi butiran-butiran keringat, padahal ia ingat betul ia sudah sempat mandi tadi sebelum tidur. Kyle melirik jam dindingnya. Pukul 1 pagi. Artinya, belum sampai dua jam ia tertidur.
Tetapi matanya sulit terpejam seolah Kyle sudah tidur selama 2 hari tanpa bangun. Padahal, sekujur tubuhnya terasa sakit. Apalagi tempat dimana Damon—sepertinya itulah nama lawannya tadi—memukulnya.
Ketika Kyle hendak berganti posisi, Kyle baru sadar kalau Isabelle tidur di sebelahnya. Ia hanya menatap cewek di hadapannya itu sembari menghela napas.
Mungkin Isabelle tidak sadar kalau Kyle tidak menyayanginya. Tidak pernah menyayanginya, tepatnya.
Padahal, tidak ada yang bisa diharapkan dari Kyle. Kyle tidak punya banyak uang, tidak bisa menyayangi orang dengan tulus, juga tidak bisa menjadi cowok yang romantis dan semacamnya. Tetapi cewek ini tetap saja tergila-gila dengannya.
Dan mungkin, sekitar dua lusin cewek lainnya.
Mungkin, mereka berpikiran Kyle adalah cowok kalem yang jago berkelahi dan baik dan mungkin sedikit hot. Dari sekian banyak ciri-ciri yang orang sebutkan itu, tidak satupun yang Kyle rasa cocok menggambarkan dirinya, kecuali 'kalem'.
Karena Kyle merasa ia memang kalem.
Karena, hey, tidak ada orang yang merencanakan pembunuhan keras-keras.
Kadang Kyle merasa takut oleh dirinya sendiri. Ia mampu membunuh—itulah letak ketakutannya. Dan ia sudah memiliki daftar orang yang akan dibunuhnya bila ada kesempatan. Daftar itu pun lumayan panjang. Mungkin, Kyle akan mulai satu per satu, dari...
"Kyle," Isabelle mengerang, kemudian mengucek matanya. "Ada apa?"
Lamunan Kyle buyar sepenuhnya. Ia menoleh ke arah Isabelle yang kini sedang menatapnya cukup dalam. Cukup dalam untuk membuatnya sedikit grogi.
"Harusnya aku yang tanya begitu."
Isabelle mengalihkan pandangan sekilas. "Aku hanya ingin bertanya," ia menguap, lalu kembali menatap Kyle. "Apakah kita masih.....kau tahu. Berhubungan?"
Kyle mengangkat bahu. "Apa itu penting?"
Kyle benar-benar tidak berniat untuk menjadi romantis dan sejenisnya. Ia jadi merasa kalau ia salah omong ketika tiba-tiba Isabelle menatapnya penuh arti, kemudian menyandarkan kepalanya di dada Kyle sembari memeluknya.
***
"Kyle, bisa kau kesini sekarang?"
Kyle cepat-cepat menyelesaikan bunga-bunga yang tengah disusunnya dan langsung bergegas menghampiri Mrs. Hunt ketika wanita itu memanggilnya dari dalam.
Hari itu Senin, dan sudah menjadi jadwalnya di setiap Senin untuk bekerja di toko bunga milik Mrs. Hunt. Pekerjaan yang lebih cocok untuk cewek, memang. Tetapi, tidak ada satupun teman Kyle yang menganggap Kyle banci karena bekerja di tempat ini.
Mungkin faktor wajah galak dan tubuh tinggi tegapnya.
"Ada apa?"
Mrs. Hunt terlihat sedang mengemas sebuah paket. Yang dimaksud paket adalah sebuket besar bunga matahari yang sudah disusun dengan indah. Untuk ukuran cowok sekalipun, Kyle tetap mengaguminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
For Them, We Were.
Romance-Book 3- Kalau dihitung, ada banyak sekali daftar orang yang ingin Kyle bunuh. Tapi dalam sekian banyak daftar itu, Kyle membuat skala prioritas. Pertama, Bianca Anderson. Kedua, Jeff Callison. Ketiga—dan yang paling ia ingin bunuh, adalah seorang p...