"Damon."
Damon hendak naik ke kamarnya ketika ia tiba-tiba mendengar suara ibunya memanggil dari arah dapur. Saat itu sudah jam 10 malam ketika Damon sampai rumah. Biasanya ibunya sudah tidur, tapi tampaknya, malam ini ibunya menunggunya. Lagi.
"Mom," gumamnya. Damon berjalan ke arah dapur, lalu mengambil segelas air. "Kukira mom sudah tidur."
Ibunya mengerutkan dahi. "Kau dari mana?" tanyanya. "Habis berkelahi lagi?"
Damon baru sadar ia masih memakai tudung jaketnya.
"Tidak." Damon lalu menurunkan tudung jaketnya. "Lihat," katanya sambil menunjuk wajahnya. "Tidak ada luka."
Ibunya menghela napas lega. "Habis dari mana?"
"Bertemu Gabriel, Ricardo. Siapalah dia."
"Kau habis bertemu ayahmu?"
Damon mengangguk. "Kalau mom bertanya, tidak, aku tidak berkelahi dengannya. Dan tidak, aku tetap tidak menyukainya. Aku naik dulu."
Damon cepat-cepat naik ke lantai dua menuju kamarnya sebelum ibunya mencegahnya. Ia membuka jaket, lalu melemparkannya ke sembarang tempat di lantai sebelum menghempaskan dirinya sendiri di atas kasur.
Seminggu lagi prom. Damon ingat karena kebetulan tadi ia lewat pusat perbelanjaan di Soho, dan bertemu beberapa teman sekolahnya yang sedang belanja gaun. Damon bahkan belum menyiapkan apa-apa. Ia bahkan belum mengajak Alaska.
Damon benar-benar tidak punya ide. Semua hal baru yang berbahaya dan menantang ini sudah menguras tenaga dan waktunya. Waktunya sudah tidak banyak. Pasti akan banyak cowok yang mengajak Alaska. Moga-moga saja sih tidak ada.
Akhirnya Damon mengurungkan niatnya untuk tidur. Ia duduk di kursi meja belajarnya, melihat-lihat benda apa saja yang bisa dijadikan sesuatu yang kreatif.
Damon menemukan sebuah karton hitam yang tinggal setengah di laci terbawah. Mungkin Damon bisa menambahkan kata-kata di sana. Atau gambar-gambar. Tapi, tulisan tangan Damon bahkan sulit dibaca oleh dirinya sendiri. Damon juga tidak bisa menggambar.
Damon lalu membongkar box tempatnya menyimpan majalah-majalah otomotif lamanya. Ia mengambil beberapa majalah di tumpukan terbawah. Lalu ia mengambil gunting, dan menggunting halaman majalah membentuk huruf-huruf balok yang besar.
Kira-kira dua jam kemudian, Damon selesai dengan mahakaryanya. Ia sudah menambahkan gambar-gambar mobil dan cover games lama yang sebetulnya tidak perlu. Lalu Damon membuka jendelanya yang berhadapan dengan jendela Alaska.
Kamar Alaska gelap. Mungkin saja Alaska sudah tidur. Damon bisa saja menunggu sampai besok, tapi rasanya ia benar-benar ingin berbicara dengan Alaska sekarang. Akhir-akhir ini, kesibukannya membuatnya jarang mengobrol dengan Alaska.
Ditambah lagi, Alaska sekarang sering menghabiskan waktu dengan Kyle. Damon memang tidak setuju, tapi apa boleh buat. Alaska terlihat senang bersama Kyle. Dan tidak ada yang lebih menyenangkan Damon ketimbang melihat Alaska senang.
Damon melemparkan penghapus ke jendela Alaska. Tidak ada jawaban. Ia lalu melemparkan pulpen, dan masih tidak ada jawaban. Ketika Damon melemparkan pensil, pensil itu mengenai kepala Alaska.
"Aw," katanya sembari mengelus-elus rambutnya. "Damon, apa yang kau lakukan?"
Damon meringis. "Maaf."
"Ini sudah jam 12. Kau tidak habis berkelahi, kan?"
"Tidak."
"Lalu?"
Damon mengangkat bahu. "Hanya ingin mengobrol," gumamnya. "Kau boleh kembali tidur kalau kau mengantuk. Aku akan ke rumahmu besok."
Alaska menghela napas, kemudian ia menggeleng. "Aku terlanjur bangun," katanya, lalu tersenyum. Menurut Damon, tidak ada yang lebih indah dari senyum itu. "Kau mau mengobrol apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
For Them, We Were.
Romance-Book 3- Kalau dihitung, ada banyak sekali daftar orang yang ingin Kyle bunuh. Tapi dalam sekian banyak daftar itu, Kyle membuat skala prioritas. Pertama, Bianca Anderson. Kedua, Jeff Callison. Ketiga—dan yang paling ia ingin bunuh, adalah seorang p...