Part 58

1.5K 214 80
                                    

Alaska lega karena Kyle mencintainya.

Kyle bilang Kyle mencintainya. Bukan sebagai adiknya, tapi sebagai Alaska. Kyle mencintai Alaska karena Alaska adalah Alaska.

Mungkin Alaska seharusnya merasa sedih, merasa terpuruk, barangkali. Tapi, yang ia rasakan justru kelegaan yang besar, seperti sebuah beban yang selama ini telah menekan dadanya telah diangkat, dan akhirnya ia bisa bernapas sebagaimana mestinya.

Alaska melipat kertas itu dengan hati-hati, karena ia tidak mau merusak satu-satunya hal yang tersisa dari Kyle, kemudian meletakkan surat itu di atas meja. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir ini, wajah Alaska dihiasi senyuman. Senyuman yang tulus.

Alaska lalu pergi ke kamar Kyle, mencari-cari box bekas sepatu Kyle, lalu membersihkannya. Setelah itu, Alaska memasukkan surat-surat Kyle, foto Kyle, serta surat kematian Kyle itu ke dalamnya. Alaska lalu mencari spidol hitam untuk menamai box itu.

Box of Lost Things.

Sedih, memang. Kehilangan Kyle tidak akan pernah mudah untuknya. Alaska mungkin saja tersenyum, tapi mungkin juga ia akan menangis malam nanti. Sekali lagi meratapi kehilangannya. Dan kemungkinan-kemungkinan yang pupus.

Tapi, setidaknya Alaska sudah merasa lega. Karena Kyle mencintainya. Karena Kyle bilang Kyle mencintainya.

Alaska menutup box itu, lalu memejamkan matanya.

Kyle memang sudah meninggal, dan biasanya, orang-orang yang meninggal hanya akan hidup dalam bayang-bayang. Alaska tahu, karena sekarang, Kyle hidup dalam bayang-bayangnya. Kyle ada di saat Alaska memejamkan mata. Atau disaat Alaska memikirkannya.

Walaupun teknisnya, jarak antara Alaska dan Kyle sekarang sangat jauh, walaupun mereka dipisahkan oleh kematian, dalam hatinya, Alaska tahu bahwa Kyle memang dibuat untuknya. Begitu pula sebaliknya—dia juga dibuat untuk Kyle. Keberuntungan saja yang tidak berpihak pada mereka.

Alaska juga akhirnya lega, karena sekarang ia tidak perlu takut untuk kehilangan Kyle lagi.

***

Di pertandingan hari itu, Zayn memutuskan untuk memberikan tribute untuk Kyle dengan caranya sendiri—dengan cara menerapkan taktik yang Kyle katakan padanya lewat telpon, beberapa bulan lalu.

Awalnya, Zayn tidak begitu yakin dengan taktik itu. Kalau timnya kalah, tidak masalah buatnya. Tapi, taktik itu malah ternyata menjadi kunci kemenangan paling mengagumkan Zayn di musim itu. 9-0, melawan sebuah tim papan bawah.

Lalu Zayn merayakan kemenangannya itu bersama Katya. Berdua saja, karena Alaska menolak untuk ikut ketika Zayn ajak. Zayn tidak memaksa, selain karena ia pikir Alaska masih butuh banyak waktu untuk dirinya sendiri, ia juga butuh waktu untuk berdua saja dengan Katya.

Mereka duduk di Blackfiars, restoran yang letaknya di pinggir sungai Thames. Zayn dan Katya sudah beberapa kali ke sana, dan restoran itu sudah menjadi favorit mereka untuk makan malam. Karena, sungai Thames benar-benar indah saat malam.

Saat itulah, saat sedang menatap permukaan air sungai yang gelap, Zayn tiba-tiba mendapatkan ide anehnya.

"Kat, kurasa kita harus pindah ke Swiss."

Katya pasti hampir tersedak udang yang sedang dimakannya. "Ke Swiss....maksudmu, Swiss?" tanyanya.

Zayn mengangguk, seolah-olah gagasan itu adalah gagasan yang normal. "Ya, ke Swiss, seperti yang dulu kau impikan. Kita bisa punya peternakan sapi, ladang jagung, kuda..."

"Zayn, kau tidak bisa begitu saja meninggalkan semuanya yang ada di sini hanya untuk itu," kata Katya. Nadanya tidak marah. "Masih banyak yang harus kau lakukan di sini. Alaska belum selesai kuliah. Kita tidak mungkin pindah tanpa Alaska."

For Them, We Were.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang