Semua ini gara-gara rusa sialan itu. Harusnya Kyle tabrak saja rusa itu, agar ia tidak perlu repot-repot menghindar dan menabrak pohon dan masuk rumah sakit dan membakar hangus mobil dodge charger hitam kesayangannya.
Ah, dodge charger itu. Kyle tidak tahu bagaimana cara yang tepat untuk mengungkapkannya. Yang jelas, Kyle benar-benar kecewa karena mobilnya meledak. Kyle mencintai mobil itu—mobil yang didapatnya dari hasil jerih payahnya sendiri. Ia benci sekali harus kehilangan mobil itu. Tapi, ia lebih benci sakit seperti ini.
Kyle sangat benci sakit.
Kyle benci jadi orang sakit, Kyle benci merasakan sakit, dan Kyle juga benci rumah sakit. Kyle benci karena ketika jadi orang sakit, ia jadi benar-benar tidak berdaya dan tidak berguna. Kyle juga benci merasakan sakit karena sakit membuatnya kesal. Dan Kyle benci rumah sakit, karena ia benci bau rumah sakit.
Setelah ibunya dan Zayn pulang, Alaska tetap tinggal selama beberapa saat. Lalu Alaska kembali ke flat Kyle untuk mengambil bantal, baju untuk Alaska, juga baju untuk Kyle. Kyle sudah bilang Alaska tidak perlu menginap, tapi tampaknya, Alaska bersikeras.
Alaska kembali setengah jam kemudian dengan membawa tas besar dan sebuah bantal. Ia mengeluarkan baju untuk Kyle, lalu membantu Kyle mengganti baju (hanya atasannya saja, sial) karena Kyle benci baju rumah sakit, karena baju rumah sakit berbau rumah sakit.
Habis itu Alaska duduk di kursi di sebelah ranjang Kyle. Alaska memakai hoodie milik Kyle, tapi Kyle tidak keberatan. Rambut Alaska yang sudah mulai panjang dibiarkan tergerai. Rambut Alaska berantakan—rambut Alaska memang berantakan hampir setiap saat—dan Alaska tidak menunjukkan tanda-tanda kalau ia peduli.
Alaska mengulurkan tangannya untuk menyentuh jari Kyle.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya.
Itu sudah yang kesertatus kalinya Alaska bertanya tentang hal itu, dan jawaban Kyle tetap sama. "Aku baik-baik saja." Ia tersenyum kecil. "Sepertinya kau harus berhenti bertanya tentang hal itu, karena aku mulai merasa seperti aku benar-benar lemah."
Alaska tertawa pelan. "Seseorang tidak bisa selamanya kuat, lho."
Kyle hanya mengangkat bahu. "Memang. Tapi saat-saat ini justru aku harus kuat. Ada banyak hal yang harus aku kerjakan." Kyle memejamkan matanya, kemudian menghela napas. "Kau harusnya tidak menginap, tahu," ia mengganti topik. "Bukannya besok kau sudah harus kembali kuliah?"
"Ya," Alaska mengangguk. "Aku masih tetap kuliah, kok. Aku hanya ingin menjagamu ketika kau tidak bisa menjagaku."
Kyle benar-benar berharap Alaska tidak mengatakan itu, karena itu hanya membuat Kyle semakin sedih. Dan membuat Kyle semakin ingin menyalahkan seseorang karena ia tidak bisa memiliki Alaska lagi. Tapi, sebenarnya yang terpenting sekarang, Alaska selalu ada untuknya. Itu dulu yang penting.
"Kau tidak mau tidur?" Kyle kemudian bertanya. Alaska hanya menggeleng. "Aku selalu bisa berbagi tempat tidur ini denganmu, kau tahu."
Alaska tertawa, lalu menggeleng-geleng. "Terima kasih sekali untuk kebaikan hatimu, Kyle, tapi aku tidak mau ambil resiko mematahkan tulang rusukmu lagi karena aku memelukmu terlalu kencang."
Sayangnya, Kyle sudah terbiasa dengan kalimat sarkasme Alaska, sehingga ia selalu punya balasan-balasan yang memuaskan. "Aku masih punya 10 pasang tulang rusuk yang bisa kau patahkan kapanpun kau mau, Alaska," Kyle tersenyum. "Mau coba?"
Alaska tersenyum samar. "Kau tidak seharusnya menggoda adikmu, tahu," gumamnya.
Sepertinya, Alaska menyesali kata-kata itu sesaat setelah ia mengucapkannya, karena Kyle hampir bisa melihatnya dengan jelas di wajah Alaska. Mungkin Alaska melihat wajah Kyle yang datar, mengira bahwa Kyle tersinggung atau apa. Sebenarnya, Kyle biasa saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
For Them, We Were.
Romance-Book 3- Kalau dihitung, ada banyak sekali daftar orang yang ingin Kyle bunuh. Tapi dalam sekian banyak daftar itu, Kyle membuat skala prioritas. Pertama, Bianca Anderson. Kedua, Jeff Callison. Ketiga—dan yang paling ia ingin bunuh, adalah seorang p...