Pesta itu ramai.
Sesuai kata Debbie waktu di kelas sejarah, pesta itu memang ramai. Padahal jam masih menunjukkan pukul 7 tepat, tetapi hampir semua tempat di rumah itu sudah dipenuhi orang-orang.
Alaska mengenali beberapa teman kelasnya dari The City of London—ada James, Courtney, Jessica, Robbie, dan masih banyak lagi. Juga ada banyak wajah yang tidak pernah dilihatnya, yang mungkin murid AB.
Debbie juga benar mengenai murid-murid AB yang kebanyakan hot. Karena sepanjang mata memandang, yang Alaska lihat adalah cowok-cowok dengan tinggi sekitar 180 senti yang memiliki tubuh atletis seperti pemain rugby.
Wow. Just wow.
Alaska hendak mencari Damon, tetapi rasanya tidak perlu. Karena Damon paling-paling ada di sebuah sudut, sibuk mencumbu cewek manapun, entah dikenalnya atau tidak, yang menurutnya paling cantik. Damon memang begitu.
Debbie sedang berbicara dengan seorang cowok, jadi sepertinya sekarang Alaska tinggal sendirian.
Alaska duduk di sebuah sofa untuk dua orang yang kosong. Di tangannya ada segelas bir yang tinggal setengah. Matanya masih menatap sekeliling, mencoba untuk membaca situasi.
"Tapi, kita sudah sering melakukan itu!"
Alaska mendengar suara orang berteriak. Musik memang diputar keras-keras, tetapi bahkan suara musik yang sekeras itu tidak dapat mendengar suara teriakan yang ternyata berasal dari seorang cewek pirang cantik yang tidak dikenalnya. Mungkin anak AB.
"Astaga, Isabelle. Bisakah kau tutup mulutmu?"
Lalu suara teriakan itu, sebuah teriakan frustasi yang ternyata berasal dari seorang cowok yang berdiri di hadapan si cewek pirang. Cowok itu berambut hitam pekat, bermata biru pucat, dan memiliki postur tinggi tegap.
Anehnya, walaupun Alaska tidak tahu siapa cowok itu, walaupun Alaska yakin dia tidak pernah bertemu dengan cowok itu sebelumnya, cowok itu tetap terasa familiar. Cowok itu mengingatkannya kepada sesuatu. Kepada seseorang. Tapi siapa....
"Sudahlah, Kyle! Ini sudah berakhir!"
"Bagus!" si cowok, yang tadi dipanggil Kyle itu berteriak marah. "Ini sudah berakhir, padahal aku tidak ingat kapan kita memulainya. Kau boleh katakan semaumu. Asal jangan tiba-tiba muncul di flatku tengah malam, dan melakukan hal-hal yang kau bilang aku yang lakukan. Don't play victim with me, Isabelle. It doesn't work on me. Not anymore."
Sekarang Alaska memperhatikan bahwa sebagian orang sudah menatap ke arah dua orang yang sedang bertengkar itu.
Wajah si cewek tampak merah padam. Ia mengulurkan tangan untuk menampar si cowok—Kyle—dan walaupun tampaknya Kyle tahu bahwa si cewek akan menamparnya, ia membiarkan dirinya ditampar. Lalu si cewek pergi, meninggalkan Kyle berdiri mematung.
Butuh beberapa detik bagi Alaska kalau Kyle sedang berjalan ke arahnya. Tampaknya Alaska juga tidak sadar kalau matanya mengikuti Kyle kemanapun ia berjalan, sampai akhirnya cowok itu duduk di sebelahnya.
Kyle menatapnya, membuat Alaska sedikit salah tingkah.
"Menikmati dramanya, ya?" ia mendengus.
"Ya. Semua orang tampak menikmatinya."
Si cowok—Kyle, menoleh untuk menatapnya. Dibawah cahaya lampu, Alaska bisa menatap mata biru—yang ternyata berwarna keabu-abuan—nya yang redup. "Maaf," gumamnya sambil tertawa getir. "Itu....entahlah, entahlah. Itu bodoh. Dan aku tidak seharusnya bersikap sinis."
"Permohonan maaf diterima."
Cowok itu mengulurkan tangannya. "Kyle."
"Alaska."
KAMU SEDANG MEMBACA
For Them, We Were.
Romance-Book 3- Kalau dihitung, ada banyak sekali daftar orang yang ingin Kyle bunuh. Tapi dalam sekian banyak daftar itu, Kyle membuat skala prioritas. Pertama, Bianca Anderson. Kedua, Jeff Callison. Ketiga—dan yang paling ia ingin bunuh, adalah seorang p...