Seumur hidup, Alaska belum pernah membayangkan tentang pernikahannya. Benar-benar belum pernah. Teman-temannya banyak sekali yang sudah memimpikan pernikahan idaman mereka di atas kapal pesiar, atau di bawah menara Eiffel, atau di atas London Bridge, atau apalah.Tapi Alaska sama sekali tidak tahu apa-apa soal pernikahan impiannya. Karena, jujur saja. Sampai ketika Theo mengajaknya menikah, Alaska tidak pernah punya pikiran untuk benar-benar menikah.
Menurutnya, komitmen itu mengerikan. Alaska sudah berulang-ulang mengatakan itu kepada Theo, dan Theo juga mengatakan hal yang sama. Mereka baik-baik saja. Mereka tidak memiliki komitmen-hanya menjalankan sesuatu yang mereka sama-sama nyaman dalam menjalankannya.
Pokoknya, suatu hari, Theo melamarnya. Alaska tidak mau membagi kata-kata yang Theo ucapkan karena kata-kata indah itu akan menjadi memori bagi dirinya sendiri saja, tetapi yang jelas, Alaska tidak berpikir dua kali untuk mengatakan ya.
Akhirnya, hari itu datang juga.
Alaska menggunakan gaun putih yang dipilihkan ibunya untuknya, yang ternyata sangat indah ketika Alaska pakai. Rambut cokelat Alaska dikepang, entah apa namanya. Wajah Alaska diberi sedikit sentuhan make-up yang natural.
Ketika Alaska melihat kaca, Alaska hampir-hampir tidak mengenali dirinya sendiri.
"Wow," gumamnya.
Ibunya merangkulkan tangannya ke pundaknya. "Wow juga," katanya, kemudian tersenyum hangat. "Kau cantik sekali."
Alaska tersenyum kecil. "Mom juga."
"Pengantin wanita sudah siap!" Alaska mendengar seseorang berteriak. Lalu Alaska dibantu berdiri, dan dibantu berjalan menuju pintu.
Ketika pintu dibuka, Alaska dapat melihat ayahnya berdiri di sana, menunggunya. Ayahnya mengenakan jas berwarna hitam dan kemeja berwarna putih. Dasinya berwarna soft pink dengan garis-garis putih. Ada bunga berwarna senada yang memumbul dari kantong jasnya.
Alaska tahu kalau hari itu bukanlah hari pernikahannya, ayahnya tidak akan mau memakai sesuatu yang bernuansa pink.
"Ya Tuhan," gumam ayahnya. "Kau cantik sekali."
Alaska tidak dapat menyembunyikan senyumnya. "Jangan begitu, dad," ia menggerutu. "Aku jadi merasa konyol."
Ayahnya menatapnya sekali lagi dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu ia mengambil napas dalam-dalam.
"Bagaimana? Sudah siap?"
"Uh....sudah?"
"Sekarang dad yang belum siap," kata ayahnya, pelan sekali sampai-sampai Alaska hampir tidak mendengarnya. "Kalau kau sudah siap, ayo kita keluar."
Alaska mencengkram lengan ayahnya kuat-kuat selagi mereka berjalan ke halaman belakang yang sudah ramai oleh kerabat-kerabat yang diundang. Semuanya bernuansa soft pink dan putih. Bukan Alaska yang meminta. Lagipula, rasanya tidak etis kalau menggunakan serba hitam di hari pernikahan.
Alaska sudah bisa melihat Theo sejak ia melangkahkan kakinya ke luar. Theo berdiri di altar bersama seorang penghulu. Tangannya berada di belakang, seperti sikap siap. Rambut pirangnya sudah dipotong pendek, terlihat seperti sudah disisir rapi. Dan selama Theo menatap Alaska, Theo tidak berhenti tersenyum.
Ketika mereka sampai di altar, Alaska melepaskan pegangannya dari ayahnya, lalu memeluk ayahnya lama sekali. Mungkin sampai satu menit, tapi Alaska tidak peduli. Rasanya, ia bahkan tidak mau melepaskan pelukannya sampai kapanpun kalau ayahnya tidak mengingatkan.
"Hei," katanya. "Kita lanjutkan ini nanti, oke? Ada pernikahan yang harus kau jalani."
Alaska menyeka air matanya yang tiba-tiba jatuh, kemudian tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
For Them, We Were.
Romance-Book 3- Kalau dihitung, ada banyak sekali daftar orang yang ingin Kyle bunuh. Tapi dalam sekian banyak daftar itu, Kyle membuat skala prioritas. Pertama, Bianca Anderson. Kedua, Jeff Callison. Ketiga—dan yang paling ia ingin bunuh, adalah seorang p...