Esok harinya, Kyle dipulangkan ke London.
Katya, Zayn, dan Alaska menunggu kedatangannya di Bandara. Sekitar jam 10 pagi, pesawat yang membaya Kyle sampai. Saat itu, Alaska sudah tidak menangis. Tapi ketika peti mati Kyle diturunkan dari pesawat, ia menangis lagi.
Setelah Zayn berbicara singkat dengan orang-orang di bandara, jasad Kyle dibawa ke gereja sebelum dibawa pulang ke rumah.
Ternyata, cukup banyak yang datang ke rumah untuk melayat. Katya melihat beberapa remaja seusia Alaska, yang mungkin dulunya teman Kyle. Ada juga pria-pria dengan rambut dipangkas pendek, mungkin mereka teman-teman Kyle di militer.
Hari itu, rumah Katya yang sepi menjadi benar-benar ramai. Semua orang mengenakan pakaian hitam, dan semua orang tampak sedih. Tapi di antara orang-orang berwajah sedih, wajah Alaska yang terlihat paling sedih.
Sebenarnya, wajah Alaska tampak kosong. Ketika Katya menatapnya, Alaska hanya tersenyum kecil, tapi seperti tidak ada kehidupan di dalam matanya. Katya juga memperhatikan, Alaska selalu duduk di samping peti Kyle yang terbuka selama jasad Kyle masih ada di rumah mereka.
Sore harinya, Kyle dimakamkan. Upacara pemakamannya mengikuti tradisi dari militer. Peti mati Kyle dikebumikan, setelah itu, tembakan-tembakan dilepaskan di udara, sebagai bentuk penghormatan terakhir kepadanya.
Katya tahu Katya memang bukan ibunya Kyle, tapi Katya sangat bangga kepada Kyle.
Katya mendengar cerita lengkapnya dari seorang utusan yang datang ke rumah mereka kemarin sore, tentang kronolgis kematian Kyle. Tentang pemberontakan, tentang koma, semuanya.
Kyle sangat berani. Dan kuat. Tapi kadang-kadang, yang paling berani dan yang paling kuat memang bukan yang paling panjang umurnya.
Setelah pemakaman Kyle, Alaska sempat menolak untuk pulang. Dia berjongkok di samping makam Kyle sembari menangis. Zayn harus membujuknya berkali-kali agar dia mau pulang. Setelah 15 menit, akhirnya Alaska setuju.
Ketika mereka sudah sampai di rumah, Alaska langsung naik ke kamarnya di lantai dua, sementara Zayn dan Katya masih duduk di sofa ruang tengah di lantai satu. Mereka diam lama sekali, seolah ditelan oleh pikiran-pikiran dari dunia masing-masing, sampai Katya memutuskan untuk bertanya.
"Menurutmu tidak apa-apa kalau aku menyusulnya ke atas?" tanyanya.
Zayn menatapnya sembari tersenyum. "Tentu saja tidak apa-apa."
"Tapi, mungkin saja dia sedang butuh waktu sendiri."
"Kita sama-sama pernah merasa kehilangan, Kat," kata Zayn halus. "Kita memang membutuhkan waktu untuk sendirian. Tapi, kadang-kadang kita tidak menyadari kalau kita justru butuh kehadiran orang lain."
Katya hanya menatap Zayn.
"Sana, ke atas," kata Zayn lagi.
Akhirnya, Katya ke atas.
Katya mengetuk pintu kamar Alaska, lalu dengan sabar menunggu sampai Alaska membukakannya. Kalau Alaska memutuskan untuk tidak membukakannya, Katya benar-benar mengerti. Tapi ternyata, Alaska membukakannya.
"Mom," gumamnya. "Ada apa?"
Melihat mata Alaska yang merah karena tangis membuat Katya jadi ingin menangis juga. Tapi tentu saja dia menahan diri.
"Boleh mom masuk?"
Alaska mengangguk. "Tentu."
Katya menutup pintu sebelum berjalan mengikuti Alaska, lalu duduk di samping Alaska di atas kasur. Katya melihat Alaska sedang memegang sesuatu di tangannya. Yang lalu Katya sadari sebagai sebuah kalung.
KAMU SEDANG MEMBACA
For Them, We Were.
Romance-Book 3- Kalau dihitung, ada banyak sekali daftar orang yang ingin Kyle bunuh. Tapi dalam sekian banyak daftar itu, Kyle membuat skala prioritas. Pertama, Bianca Anderson. Kedua, Jeff Callison. Ketiga—dan yang paling ia ingin bunuh, adalah seorang p...