Damon sampai di depan rumah Alaska sekitar jam 8 malam. Alaska sudah menunggunya di halaman depan, dengan memakai hoodie dan jins ketat dan converse usang. Rambutnya dikuncir asal-asalan. Damon sempat berpikir kalau Alaska sengaja untuk terlihat jelek.
Dan Alaska gagal.
Alaska langsung membuka pintu depan ketika Damon berhenti. Ia duduk dengan gaduh, sebelum menutup pintu. Kemudian, ia menatap Damon dengan sebelah alis terangkat. Tampaknya karena Alaska merasa Damon sedang memperhatikannya—yang memang benar.
"Apa?" tanyanya.
Damon hanya tersenyum.
"Jangan komentar tentang hoodie atau rambutku yang acak-acakan," Alaska menggerutu. "Kuharap kita tidak pergi ke tempat yang formal karena aku pasti bakal membuatmu malu. Ayo jalan."
Alaska salah, karena kalaupun Alaska memakai sesuatu yang lebih buruk dari hoodie ekstra besar dan rambut yang seperti habis diamuk tornado, Alaska tidak akan pernah membuat Damon malu.
"Damon," kata Alaska lagi. "Jalan."
"Pasang seatbelt mu."
Alaska memasang seatbelt-nya, lalu Damon menjalankan mobilnya.
"Kita mau kemana?" tanya Alaska ketika Damon mengambil belokan pertama keluar dari blok rumah mereka.
"Tidak tahu."
Alaska menoleh untuk menatapnya, tetapi Damon tetap memfokuskan pandangannya pada jalanan di depannya.
"Apa yang kau maksud dengan, tidak tahu?"
Sekarang Damon menoleh singkat ke samping, matanya bertemu mata Alaska, kemudian ia tersenyum. "Artinya aku tidak tahu kita akan pergi kemana," jawabnya santai. "Lagipula, memangnya penting sekali? Aku hanya ingin menarikmu keluar rumah. Itu saja."
Alaska menghela napas. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran jok, kemudian memainkan seatbelt dengan tangannya.
"Kyle belum menelpon," katanya murung.
"Aku tahu. Kau sudah memberitahuku sekitar dua ratus kali."
"Aku harus apa?"
Damon mengangkat bahu. "Kenapa tidak kau letakkan saja ponselmu dalam keadaan silent, lalu mencoba untuk melakukan sesuatu yang lebih membuatmu bahagia ketimbang menunggu."
Alaska menatap ponselnya. "Aku bahagia, kok, menunggu telpon dari Kyle."
"Kau bahagia?" tanya Damon. Sebenarnya, lebih terdengar seperti sebuah pernyataan mengejek.
"Aku bahagia."
Damon mengangguk. "Artinya definisi bahagiamu adalah mengurung diri di kamar selama seminggu lebih, sembari merasa entah khawatir entah sedih entah kesal. Sangat berbeda dengan definisi bahagia orang-orang."
Alaska menghela napas, kemudian menatapnya. "Lalu menurutmu aku harus berhenti menunggu?"
"Aku tidak bilang begitu," kata Damon. Ia memutar setir ke kanan, berbelok ke arah London Bridge. "Aku hanya bilang, kau harus melakukan sesuatu yang lebih membuatmu bahagia."
"Seperti?"
"Matikan ponselmu saja, deh," kata Damon tidak sabaran. "Dan nikmati saja cuaca cerah malam ini. Lihat, langitnya bertabur bintang."
Seperti instruksi Damon, Alaska men-silent ponselnya. Ia lalu membuka jendela, agar bisa menatap langit di atasnya. Awalnya Alaska terlihat biasa saja, tapi lama kelamaan, Alaska tampak menikmatinya. Senyumnya selalu mengingatkan Damon pada pagi natal. Cerah, ceria, hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
For Them, We Were.
Romance-Book 3- Kalau dihitung, ada banyak sekali daftar orang yang ingin Kyle bunuh. Tapi dalam sekian banyak daftar itu, Kyle membuat skala prioritas. Pertama, Bianca Anderson. Kedua, Jeff Callison. Ketiga—dan yang paling ia ingin bunuh, adalah seorang p...