Bonus Part #2: Alaska's Happy Ever After

1.5K 181 44
                                    

"Bagaimana menurutmu gorden barunya?"

Alaska berkacak pinggang selagi menatap gorden yang baru saja selesai dipasangnya. Ia bahkan masih berdiri di salah satu kursi, sibuk merapikan gorden berwarna hijau gelap itu.

Hari itu adalah minggu pertama mereka di apartemen milik mereka di London. Setelah menikah setahun yang lalu, Alaska dan Theo tinggal di Prancis selama satu tahun. Baru minggu kemarin mereka kembali ke London karena tugas Alaska selesai, dan tugas Theo juga selesai.

Theo tidak tampak memperhatikan. Dia sedang sibuk membaca koran sembari minum kopi dari mug bergambar panda favoritnya. Oke, Theo memang berbadan besar dan mengerikan dan sebagainya, tapi dia sangat menyukai mug bergambar panda itu.

"Theo," panggil Alaska lagi.

"Mm, ya, bagus," gumamnya.

"Apanya?"

"Bajunya."

"Baju...? Theo!" Alaska cepat-cepat turun dari kursi, lalu menghampiri Theo. Ia mengambil paksa koran yang sedang Theo pegang di tangannya. "Gordennya. Aku sedang bicara mengenai gordennya. Bagaimana menurutmu?"

Theo menatap gorden itu. "Jujur atau bohong?"

"Jujur."

"Jelek."

Alaska menatap gorden itu lagi. "Tapi aku menyukainya," katanya. Ia menoleh ke arah Theo, kemudian tersenyum. "Kau bakal terbiasa."

Theo mengangkat bahu. "Sudah kuduga."

Alaska menyeringai. Ia tahu Theo bakal tidak menyukainya, dan ia juga tahu kalau Theo tidak akan menganggapnya sebagai masalah. Alaska kemudian duduk di samping Theo di atas sofa, sembari memegang koran yang sedaritadi menyita perhatian Theo.

"Sedang baca apa, sih?" tanyanya.

Theo menunjuk ke salah satu kolom. Ternyata, tentang sebuah penyerangan dari orang-orang tak dikenal di St. Petersburg, Rusia.

"Kau yang melakukannya?"

Theo mengangguk. "Salah satu rekanku meninggal di dalam misi itu," gumamnya. "Memang sesuatu yang normal, tapi tetap saja...."

Alaska meletakkan tangannya di lutut Theo. "Bukan salahmu," katanya sembari tersenyum menenangkan. "Itu sudah jadi resiko pekerjaanmu, kan?"

Theo mengangguk lagi. "Kadang-kadang aku merasa, kalau resiko pekerjaanku ini besar sekali. Aku jadi harus meninggalkanmu, meninggalkan Achilles, dan aku bahkan tidak begitu yakin aku akan kembali atau tidak."

"Maksudmu Freya," Alaska mengoreksi. "Dan kau tidak akan bicara seperti itu lagi, karena kau akan kembali. Karena aku akan marah sekali kalau kau tidak kembali. Freya juga pasti akan sangat kecewa kepadamu."

Theo tertawa. Ia menyentuh perut Alaska yang semakin membesar, lalu mendekatkan telinganya, seperti sedang mendengarkan.

"Hai, Achilles," bisiknya. "Kapan kita bisa main tembak-tembakan bersama?"

"Freya," Alaska mengoreksi sembari tersenyum. "Dan kau tidak akan main tembak-tembakan bersama Freya."

***

7 tahun kemudian.

"Theo! Theo! Bangun!"

Samar-samar Theo mendengar suara seseorang memanggil namanya, disertai guncangan kecil pada bahunya. Ketika Theo membuka matanya yang berat dengan susah payah, Theo menemukan Alaska sedang duduk di pinggir tempat tidur sembari menyeringai lebar.

"Mm," Theo kembali menutup matanya. "Sebentar lagi."

"Ih, ayo bangun! Aku baru pulang, dan aku sudah masak makan malam untukmu dan Eros. Ayo, bangun!"

For Them, We Were.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang