Switzerland. 3 tahun kemudian.
Sesuai perkataannya kepada Katya, Zayn benar-benar langsung memutuskan untuk pindah ke Swiss begitu Alaska selesai kuliah. Ia mengadakan konfrensi pers dan menyatakan mundur dari kursi pelatih, sekaligus menyatakan pensiun dari dunia sepak bola. Benar-benar pensiun.
Setelah itu, Zayn membeli sebuah tanah yang cukup luas, kira-kira luasnya 4 atau 5 hektar. Ia membangun sebuah rumah petani, seperti yang Katya minta, kandang hewan ternak, kebun, ladang, kolam ikan, dan yang lainnya.
Zayn memilih sebuah desa bernama Juf, di wilayah Graubünden, kira-kira 12 mil jauhnya dari Bern. Zayn memilih Juf karena banyak tanah yang luas di sana, dan karena Juf termasuk desa paling tinggi di Swiss. Bahkan mungkin di seluruh Eropa. Udaranya masih sangat bersih. Cocok untuk menghabiskan hari tuanya (walaupun teknisnya, ia belum tua.)
Hari itu adalah hari pertama kedatangan mereka ke Swiss. Zayn dan Katya sudah membawa semua barang-barang mereka. Mereka tidak menjual rumah lama mereka di City of London, tentu saja, karena sewaktu-waktu mereka akan berkunjung.
Juga, karena Alaska tidak ikut pindah bersama mereka.
Awalnya, Zayn dan Katya sudah mati-matian membujuk Alaska untuk pindah, tapi Alaska bilang tidak. Zayn sendiri juga tidak bisa memaksa, karena ini bukan waktunya Alaska untuk tinggal di pedesaan. Masih banyak yang harus Alaska lakukan dalam hidupnya.
Jadi, untuk pertama kalinya, Zayn membebaskan Alaska. Ia membiarkan Alaska melakukan apa yang ia ingin lakukan di hidupnya, selama itu tidak merugikan dan tidak membayahakan dan tidak melanggar hukum.
Tapi, hari itu, Alaska ikut mereka ke Swiss dan mungkin, akan menginap untuk beberapa minggu sebelum ia kembali ke London.
Mereka sampai di rumah petani mereka yang sederhana kira-kira satu jam perjalanan dari bandara. Zayn dan beberapa orang suruhannya membawa turun barang-barang sementara Katya dan Alaska melihat-lihat. Karena, yah, yang pernah ke sana sebelumnya hanya Zayn.
Rumah baru mereka sudah memiliki barang-barang inti. Ada sofa, karpet, lampu, tv, kitchen set, tempat tidur, dan yang lainnya. Mereka hanya perlu mengubah dekorasinya sedikit, kalau Katya ingin merubah sesuatu. Sisanya, sepertinya sudah cukup.
"Bagus sekali," kata Katya ketika Zayn sudah selesai memindahkan barang-barang, dan mereka sedang duduk di ruang tengah dengan perapian yang menyala. "Terasa seperti....rumah."
Katya benar. Rumah mereka memang terasa seperti rumah. Rumah yang hangat. Karena, walaupun cuaca di luar selalu dingin, Zayn memastikan keadaan dalam rumahnya selalu hangat. Ada penghangat ruangan yang bisa diatur sesukanya. Lalu ada perapian, dan karpet-karpet dari beludru yang tebal.
"Kalian menyukainya?"
"Ya!" Alaska dan Katya menjawab serempak. "Aku bahkan mulai menimbang-nimbang apakah aku harus ikut tinggal di sini saja," kata Alaska kemudian.
Zayn tersenyum puas. Ia memang sudah menduga kalau Katya dan Alaska bakal menyukai rumah baru mereka. "Kau sudah lihat kamarmu?" tanyanya kemudian, kepada Alaska.
Alaska menggeleng, lalu Zayn tersenyum lagi. "Sepertinya kau harus lihat kamarmu. Karena, kamarmu letaknya di loteng."
Alaska membulatkan matanya. "Dad," panggilnya. "Dad membuatkan kamar loteng untukku dan merasa bangga karena itu?"
"Kau belum lihat saja."
Zayn lalu berdiri, memberi isyarat pada Alaska untuk mengikutinya. Untungnya, Alaska menerima sinyalnya dan langsung ikut berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
For Them, We Were.
Romance-Book 3- Kalau dihitung, ada banyak sekali daftar orang yang ingin Kyle bunuh. Tapi dalam sekian banyak daftar itu, Kyle membuat skala prioritas. Pertama, Bianca Anderson. Kedua, Jeff Callison. Ketiga—dan yang paling ia ingin bunuh, adalah seorang p...