Alaska menikmati live music-nya.
Seorang cowok bersama bandnya menyanyikan lagu American Man-nya Rio Bravo, dan Alaska benar-benar menikmatinya. Ini adalah kali pertamanya Alaska melakukan sesuatu yang benar-benar.....remaja. Ia baru sadar betapa selama ini masa remajanya terbuang sia-sia di rumah saja.
Sesuai janji Kyle, mereka mampir ke pub setelah menonton live music. Pub cukup ramai oleh orang-orang sebaya mereka. Kyle menuntun Alaska untuk duduk di kursi tinggi, kemudian mengoper menu kepada Alaska.
"Ingat peraturan nomor dua," katanya.
Alaska memutar bola matanya. "Aku tahu."
Alaska akhirnya memesan sesuatu sejenis Frape Cappuccino sedangkan Kyle hanya memesan air putih. Itu, membuat Alaska bingung.
"Kau tidak memesan sesuatu yang lain?" Ia akhirnya bertanya.
Kyle menatapnya, kemudian menggeleng. "Aku belum pernah bilang, ya, kalau aku tidak suka minuman beralkohol," gumamnya pelan, sampai-sampai Alaska nyaris tidak bisa mendengar. "Lagipula, air putih lebih sehat."
Alaska tersenyum. "Kau benar."
Ketika mereka sudah sama-sama diam, Alaska mengedarkan padangannya ke sekeliling pub. Musik elektro yang memuakkan telinga diputar keras-keras. Orang-orang yang setengah sadar menari di dance floor sembari tertawa, tidak menyadari kalau mereka terlihat sangat bodoh.
Alaska tahu, ia tidak akan datang kesini lagi.
Alaska duduk menghadap ke orang-orang sementara Kyle, yang duduk di sebelahnya, duduk menghadap bar. Dari sudut matanya, Alaska bisa melihat seorang cowok pirang yang tingginya sepuluh senti lebih pendek dari Kyle datang dari arah kanan.
Dengan senyum sumringah, ia menghampiri Alaska.
"Hei—"
"Tidak."
Alaska dan si cowok pirang sama-sama menoleh ke arah Kyle.
"Apa?"
"Kubilang, tidak." Kyle bahkan tidak repot-repot membalikkan badannya untuk menghadap si cowok pirang. "Apapun yang akan kau katakan kepada cewek ini, jawabannya adalah tidak. Jadi, lebih baik kau pergi. Jangan kembali lagi."
Si cowok pirang tertawa getir. "Terserah. Dasar aneh," umpatnya, kemudian ia berjalan pergi dengan kesal.
Alaska memutar kursinya agar menghadap bar seperti Kyle, kemudian menoleh ke arah Kyle dengan seulas senyum. Tapi yang ditatap malah menghadap lurus ke depan, padahal Kyle pasti sadar bahwa ia sedang ditatap.
"Itu," katanya, "yang aku tidak suka dari tempat ini."
Alaska setuju. "Kita pergi?"
Kyle meninggalkan uang 10 pound di atas meja sebelum mengambil kunci truknya, lalu membantu Alaska turun dari kursi tinggi.
Mereka berjalan keluar pub dalam diam. Keadaan jalan ramai, jadi Alaska tidak berjalan terlalu jauh dari Kyle. Alaska lalu baru sadar kalau Kyle berjalan ke parkiran, ke tempat truknya diparkir.
"Kita pulang sekarang?" tanya Alaska bingung.
"Ya. Sekarang sudah jam 9, dan aku butuh waktu hampir satu jam untuk sampai ke rumahmu. 40 menit, kalau kita beruntung. Aku tidak mau ambil resiko dibunuh oleh ayahmu," katanya. "Ayo, naik."
"Tapi, ini kan malam minggu."
Kyle menggeleng. "Kita pulang."
"Kyle..."
"Aku tahu kau masih mau berlama-lama jalan denganku, tapi kita benar-benar harus pulang," katanya, lalu Alaska menggerutu. Kyle tersenyum kecil. "Kapan-kapan kita kesini lagi, oke? Nanti kita main sesuatu yang tidak menantang dan tidak menegangkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
For Them, We Were.
Romance-Book 3- Kalau dihitung, ada banyak sekali daftar orang yang ingin Kyle bunuh. Tapi dalam sekian banyak daftar itu, Kyle membuat skala prioritas. Pertama, Bianca Anderson. Kedua, Jeff Callison. Ketiga—dan yang paling ia ingin bunuh, adalah seorang p...