Lucu juga mengingat Kyle selalu menganggap cewek yang menangis itu cengeng, sedangkan ketika ia melihat Alaska menangis sesenggukan seperti sekarang ini, ia yang justru ingin ikut menangis juga.
Kyle hanya butuh sesi mengobrol dengan Joe selama setengah jam, sebelum mood-nya untuk bercerita benar-benar hilang. Setengah jamnya lagi ia habiskan dengan mendengarkan Joe bercerita, sembari diam ditelan pikiran-pikirannya sendiri.
Alaska sudah tidak bisa dimilikinya lagi, walaupun sekarang, Alaska akan selamanya berada di sampingnya. Apakah itu sepadan?
Tidak, tentu tidak.
Lalu, kalau Alaska adalah adiknya, artinya ia harus merelakan Alaska mulai dekat dengan cowok lain, pacaran dengan cowok lain, dan ujung-ujungnya, menikah dan menikmati akhir bahagia, bersama cowok lain. Terdengar seperti menonton dirinya sendiri mati perlahan-lahan.
"Hey, hey. Tidak apa-apa. Aku di sini, tidak ke mana-mana," kata Kyle setelah lama sekali terdiam, berusaha menengangkan Alaska agar tangisnya mereda. Nyatanya, kalimat cheesy itu bahkan tidak bisa menenangkan dirinya sendiri.
"Kau kakakku," Alaska terisak.
Sejujurnya Kyle masih benci jika mengingat bahwa cewek yang tengah ia peluk dengan segenap perasaannya yang tersisa ini adalah adiknya. Tapi, mau bagaimana lagi. Memang itulah kenyataannya.
"Memang," gumamnya. "Tapi, aku tidak percaya. Akan kucari bukti bahwa aku bukan kakakmu."
Alaska mendongak untuk menatapnya. Mata abu-abunya memerah dan bengkak karena terlalu banyak menangis. "Kau tidak mau jadi kakakku?" tanyanya.
Walaupun ini pertanyaan menjebak, Kyle menjawab dengan mantap.
"Tidak."
Alaska diam saja.
"Aku bakal menjagamu seperti seorang kakak, tapi aku tidak mau jadi kakakmu," kata Kyle lagi. Tidak mau hanya menjadi sekedar kakak. Egois, memang. Tapi, itu benar.
"Tapi—"
"Tenang saja, Alaska. Aku akan menemukan jalan," Kyle tersenyum kecil. "Aku akan membuktikan bahwa aku bukan kakakmu."
"Caranya?"
"Biar aku yang pikirkan."
Alaska akhirnya mengangguk. Ia menjauh dari pelukan Kyle, membuat Kyle harus berusaha keras untuk tidak menarik Alaska kembali ke pelukannya. "Omong-omong," Alaska menghapus jejak-jejak air mata di pipinya menggunakan punggung tangannya, "kau masih harus kembali ke Catterick, kan? Di sini sampai kapan?"
Kyle senang Alaska mengalihkan topik. "Ya," gumamnya. "Hanya seminggu. Ini hari kedua. Berarti masih 4-5 hari lagi."
"Kau mau menghabiskan 4-5 hari itu bersamaku?"
"Tentu. Kenapa tidak?"
Alaska tersenyum, menyebabkan matanya yang sedikit bengkak itu menyipit. Sepertinya Kyle baru sadar kalau ia sangat senang melihat Alaska tersenyum seperti itu.
"Habis sekolahmu di Catterick selesai, kau sudah bisa bebas?"
"Tentu tidak," jawab Kyle. Senyum Alaska hilang. "Aku masih harus melanjutkan sebuah misi sampai mendapat pangkat pertamaku."
"Berapa lama?"
"11 bulan."
"Itu lama sekali!" Alaska meninggikan suaranya. "Kyle, kau tidak benar-benar pergi untuk 11 bulan, kan?"
Kyle tersenyum minta maaf. "Prosedurnya sudah begitu," katanya. "Lagipula, seandainya aku tidak ikut misi, aku tidak akan bisa naik pangkat. Aku kan juga butuh uang untuk menghidupi diriku sendiri." Menghidupimu, Kyle ingin tambahkan jika ia bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
For Them, We Were.
Romance-Book 3- Kalau dihitung, ada banyak sekali daftar orang yang ingin Kyle bunuh. Tapi dalam sekian banyak daftar itu, Kyle membuat skala prioritas. Pertama, Bianca Anderson. Kedua, Jeff Callison. Ketiga—dan yang paling ia ingin bunuh, adalah seorang p...