Bonus Part #3: The Last Day(s)

2.1K 166 39
                                    

Didenger ya lagunya :))

***

"Dad?" 

Theo menghela napas lega ketika mendengar suara Eros di sebrang sana.

Saat itu petang. Matahari sudah nyaris terbenam di ufuk barat. Langit berwarna oranye kemerahan, seperti warna darah.

Theo sedang dalam sebuah misi untuk menggagalkan rencana penggalian uranium di dekat Laut Tengah. Atasannya adalah orang dalam CIA. Seperti biasa, Theo dan teman satu timnya disewa dalam pekerjaan sabotase yang kotor itu.

Saat itu Theo sedang menunggu truk-truk pembawa uranium itu lewat. Karena Theo merasa hal yang akan dilakukannya itu sangat beresiko, Theo memutuskan untuk menelpon rumah. Itu salah satu kebiasaan yang selalu Theo lakukan sampai saat ini.

"Hei. Apa mom ada?"

"Mom sudah tidur."

"Oh?" Theo tidak bisa menyembunyikan kekecewaan di dalam suaranya. Padahal, ia sangat ingin mendengarkan suara Alaska. "Kalau begitu, baiklah, tidak apa-apa. Dad ingin bicara padamu saja sebentar. Oke?"

Terjadi keheningan singkat.

"Apa dad berada dalam bahaya?"

"Apa?" Theo tertawa. Tebakan Eros tepat, tetapi Theo hanya tidak ingin Eros merasa khawatir atau sedih, jadi ia berbohong. "Tidak. Tentu saja tidak."

"Dad tahu di sini sudah jam 11 malam. Dad tidak akan menelpon kecuali dad sedang berada dalam bahaya," katanya. "Ditambah lagi, dad selalu menelpon tiap dad dalam bahaya. Jadi, kali ini apa?"

Ah, Eros. Sejak kecil, Eros memang sudah senang main detektif-detektif-an. Tapi, Theo juga tidak bisa menyangkal bahwa deduksi Eros rata-rata tepat, bahkan waktu umurnya masih 7 tahun sekalipun.

"Jadi?" desak Eros.

"Oke, oke. Kau benar, dad memang sedang berada dalam bahaya. Tapi, jangan bilang mom tentang ini," kata Theo dengan cepat. "Hanya kita yang tahu saja, oke? Hanya kau dan aku saja yang tahu kalau kita mengobrol di sini, lewat telpon, pada saat ini. Kau setuju?"

"Ya, aku setuju."

"Oke, bagus." Theo mengusap dahinya menggunakan punggung tangannya. "Dad sedang mengintai target. Kalau dad tidak pulang, kau harus mengambil alih semua tugas dad. Cuci mobil, rapikan kamar, rawat kebun belakang. Tapi, yang paling utama, kau harus menjaga mom."

Eros tidak menjawab.

"Eros, kau harus menjaga mom," kata Theo lagi.

"Ya, dad. Aku akan menjaga mom."

"Bagus," Theo menghela napas lega. "Kau tahu betul di mana saja dad menyimpan senjata di dalam rumah. Dad meninggalkan petunjuk-petunjuk yang mudah. Pokoknya, di saat-saat genting, seperti kalau ada serangan dari orang-orang yang mencari dad, kau harus sigap. Lindungi mom. Oke, Eros?"

"Ya, dad."

"Bagus. Dad harus pergi."

"Dad—tunggu."

Theo mendengarkan.

"Dad benar-benar tidak ingin berbicara dengan mom?"

Theo menghela napas lagi. "Tidak," gumamnya. "Mom sudah tidur. Jangan dibangunkan. Bilang padanya bahwa dad menyayangi kalian."

"Oke," kata Eros. Theo lalu mendengar suara Eros menguap. "Dad selalu menelponku seperti ini, padahal dad selalu kembali. Paling nanti dad akan kembali juga. Sudah dulu, ya, dad. Aku mau tidur. Sampai ketemu besok."

For Them, We Were.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang