"Sibuk sekali?"
Zayn memfokuskan matanya ke tumpukan kertas-kertas yang tengah dipegangnya. Ia membolak-balik kertas itu, kemudian mengangkat kepala untuk menatap Katya. "Tinggal me-review sedikit lagi," katanya sambil tersenyum. "Sabar, ya."
Sejak memutuskan untuk pensiun dan menjadi pelatih, Zayn tidak bisa diam saja ketika ada waktu luang. Ia sibuk sekali memikirkan taktik dan strategi untuk pertandingan setiap minggunya. Belum lagi pertandingan-pertandingan kecil, yang sebenarnya sama pentingnya.
Karena ketekunannya itu jugalah tiga tahun lalu, setelah bertahun-tahun melatih klub Chelsea mulai dari U18 sampai U23, Zayn akhirnya diberi kehormatan untuk melatih klub tempatnya pensiun itu. Ia diberi kesempatan untuk melatih mantan teman setimnya.
Jadi, Zayn harus bekerja ekstra keras.
"Sudah jam dua pagi," ia mendengar suara Katya lagi, disusul helaan napas. Katya kemudian menghampirinya ke meja kerja. Ia berkacak pinggang, lalu mengambil semua kertas yang tengah Zayn pegang. "Waktunya tidur."
Zayn tidak protes. "Baiklah, kau menang."
Katya tersenyum, lalu berjalan ke tempat tidur. Zayn mengikutinya.
Setelah badannya menyentuh kasur, Zayn baru sadar kalau ia sangat lelah dan mengantuk. Walaupun ia hanya me-review 5 pertandingan terakhir Chelsea melawan Southampton, itu bukan pekerjaan yang mudah.
"Zayn."
"Ya?"
"Alaska......punya pacar, ya?"
Zayn menoleh untuk menatap Katya, kemudian tertawa kecil. "Sepertinya," gumamnya. "Memangnya kenapa?"
"Ketika aku hendak masuk ke kamarnya, aku mendengar dia sedang berbicara. Sepertinya menelpon. Dan tampaknya, hampir setiap malam." Katya terdiam. "Aku jadi ingin tahu siapa yang bisa membuatnya jadi sebahagia itu. Kau pernah bertemu dengannya?"
"Satu kali. Sabtu minggu kemarin."
"Oh, ya?" Katya terdengar tertarik. "Seperti apa wajahnya?"
Zayn mengingat-ingat. "Tinggi tegap, rambutnya hitam, matanya biru. Menurutku wajahnya cukup seram. Tapi dia sopan."
"Siapa namanya?"
"Kyle, kurasa."
"Sepertinya tidak asing."
Ah, benar. Itu dia. Kyle tidak asing. Selama seminggu ini Zayn berusaha mencari tahu apa yang membuatnya tidak bisa mengalihkan masalah itu dari kepalanya, ternyata karena ia merasa bahwa Kyle tidak asing. Tapi, Zayn tidak tahu apa tepatnya yang membuat Kyle tidak asing.
"Sepertinya."
Katya tersenyum. "Aku senang Alaska bahagia, kau tahu," katanya. "Jadi, jangan mempersulit mereka, ya?"
"Aku tidak mempersulit siapa-siapa," kata Zayn, yang memang benar. "Kecuali kalau dia berakhir mematahkan hati Alaska. Aku bakal mematahkan lehernya."
"Kau posesif sekali," Katya tertawa.
Zayn tersenyum. "Hanya kepada sesuatu yang memang milikku."
***
Pertama, di St. Paul. Kedua, di sekolah. Ketiga, di rumahnya.
Damon tahu SUV putih itu sudah parkir di trotoar di sebrang rumahnya sejak dua jam lalu. Untungnya, ibunya sudah berangkat kerja jauh sebelum SUV itu tiba. Jadi SUV itu tidak bisa mengikuti ibunya.
Yang Damon bingungkan adalah tujuan orang-orang itu menguntitnya seperti ini. Orang macam apa yang meneror orang lain dengan alasan hanya karena dikalahkan satu kali dalam pertandingan bodoh di sebuah fight club bodoh?
KAMU SEDANG MEMBACA
For Them, We Were.
Romansa-Book 3- Kalau dihitung, ada banyak sekali daftar orang yang ingin Kyle bunuh. Tapi dalam sekian banyak daftar itu, Kyle membuat skala prioritas. Pertama, Bianca Anderson. Kedua, Jeff Callison. Ketiga—dan yang paling ia ingin bunuh, adalah seorang p...