Part 31

1.6K 221 54
                                    

Kyle benar-benar lega ketika ia sudah menginjakkan kakinya di London.

Tubuhnya terasa lelah. Ia hanya ingin cepat-cepat sampai di flatnya, lalu tidur, kalau ia bisa. Berhubung ia punya waktu satu minggu, ia akan menggunakan satu minggunya itu untuk istirahat, meminta maaf pada Alaska, dan berbicara pada Zayn.

Perkara terakhir itu membuatnya gugup. Bukan karena Kyle takut—tetapi karena Kyle merasa ada sesuatu yang besar yang akan terjadi. Dan Kyle tidak tahu ia siap atau tidak.

Dari bandara Kyle naik taksi ke flatnya di Haggerstone. Setelah membayar 15 pound kepada si supir taksi, Kyle menurunkan barang-barang bawaannya, lalu naik ke tempatnya di lantai tiga. Ketika Kyle sampai di depan pintu flatnya, Kyle bisa mendengar suara langkah kaki orang dari dalam flatnya.

Kyle belum sempat mengulurkan tangan untuk membuka pintu, karena pintu sudah terlanjur dibuka dari dalam. Oleh Alaska.

"Kyle." Alaska menatapnya dengan sangat terkejut. Ia diam selama beberapa saat. "Kau pulang lebih cepat."

Kyle mengangguk. "Ya."

Alaska ikut mengangguk. "Hanya ingin mengembalikan hoodie-mu yang sempat kupinjam," Alaska menjelaskan tanpa ditanya. "Dan ini."

Alaska melepas sebuah kalung di lehernya, yang kemudian Kyle sadari sebagai kunci flatnya, lalu memberikannya kepada Kyle.

Kyle ingin sekali meminta Alaska untuk tidak pergi. Ingin sekali menjelaskan semuanya kepada Alaska, mulai dari A sampai Z. Tapi Kyle hanya diam, karena terlalu sulit mencerna kenyataan bahwa mereka memang sudah benar-benar berakhir.

"Aku harus pergi."

Tapi sebelum Alaska benar-benar pergi, Kyle berhasil menahan lengannya. Alaska berhenti, sembari menoleh ke arah Kyle. Matanya berkaca-kaca.

Kyle tahu jika ia berbicara dengan Alaska lebih lama lagi, Alaska akan mulai menangis. Dan tidak ada yang lebih buruk dari melihat Alaska menangis. Jadi, Kyle hanya mengorek bagian depan tasnya untuk mencari buku saku pemberian Alaska, dan memberikannya kepada Alaska.

"Sesuai janjiku," kata Kyle. "Aku menulis semuanya di sana."

Alaska menatap buku itu, lalu menatap Kyle. "Oke," katanya, kemudian mengangguk. "Ada lagi?"

Kyle menggeleng. "Kalau aku bilang jangan pergi, apakah kau bakal tetap pergi?"

Alaska terdiam, dan Kyle tidak suka diamnya Alaska. Kyle lebih suka ketika mereka bertengkar—ketika Kyle tahu dimana letak kesalahannya dan ketika Alaska mengatakan ia ingin Kyle melakukan apa. Sedangkan ini, Kyle hanya tahu letak kesalahannya, tetapi Kyle tidak tahu apa yang sebenarnya Alaska inginkan.

Mungkin Alaska memang benar-benar ingin semuanya berakhir. Atau mungkin Kyle terlalu sulit dimengerti. Atau mungkin, Kyle hanya tidak pantas ditunggu.

"Kau tahu jawabannya, Kyle," gumam Alaska kemudian. Kyle hanya mengangguk, sementara Alaska berbalik pergi.

Ya, Kyle tahu jawabannya.

Alaska akan tetap pergi.

***

Sesampainya di rumah, Alaska langsung masuk kamar, lalu naik ke tempat tidur dan memposisikan dirinya senyaman mungkin. Ia menatap buku saku yang ia berikan kepada Kyle 3 bulan lalu. Buku itu memiliki sampul berwarna hijau, yang sekarang sudah sedikit kotor.

Alaska menarik napas sebelum membuka lembar pertama.

6 Juli

10.38 am

Hai, Alaska. Aku sudah sampai di Catterick. Aku sedang ada di tronton, dan kupikir mungkin ini saat yang tepat untuk menulis sesuatu. Walaupun aku bukan penulis yang baik, aku akan mencoba sebisaku.

For Them, We Were.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang