Part 17

1.8K 232 43
                                    

Tanpa sepengetahuan ibunya, Damon menelpon ayahnya. Awalnya ayahnya kaget kenapa Damon tiba-tiba menelpon, tetapi ujung-ujungnya dia setuju untuk bertemu dengan Damon di Apostrophe, sebuah café dekat sekolah Damon.

Hari itu Jumat, dan Damon membolos jam pelajaran terakhir karena ayahnya bilang ia hanya bisa mengobrol sampai jam 2. Saat itu sudah pukul 11 ketika Damon duduk di café, berusaha sebisa mungkin menekan rasa mualnya.

Mual karena ia harus berbicara kepada orang yang paling dibencinya di seluruh dunia.

11.02, pintu café terbuka. Sosok ayahnya yang jangkung, rambut cokelat, mata cokelat, dan wajah sedikit latin itu terlihat. Ia berjalan ke arah Damon dengan santai, seolah-olah hubungan mereka selama ini baik-baik saja layaknya ayah dan anak yang normal.

"Damon," katanya dengan gaya yang menyebalkannya seperti biasa. "Tumben sekali."

Damon berusaha keras tidak menonjok ayahnya di muka.

"Hanya mau bertanya." Damon melempar berkas pemberian Kyle itu ke atas meja, membuat ayahnya mengerutkan dahinya dengan bingung. "Aku menemukan itu di sebuah gudang di daerah Limehouse. Terakhir aku tahu, gudang itu milik seorang kaki-tangan yakuza di London. Namanya Hito."

Ayahnya membolak-balik berkas itu. Setelah selesai, ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, lalu menatap Damon lekat-lekat.

Awalnya Damon mengira ayahnya akan merasa.....entahlah. Marah, takut, dan hal-hal lainnya. Tetapi ayahnya malah terlihat lelah. Damon benar-benar tidak mengharapkan reaksi itu dari ayahnya. Tidak sekarang.

"Apa yang kau lakukan disana?" tanyanya pelan.

"Anggap saja aku punya masalah dengannya," kata Damon, enggan menjelaskan lebih detail. "Kenapa namamu ada disana?"

Ayahnya diam.

"C-5 itu kode untuk kokain, kan? Disini tertulis 5 kilogram. Artinya 5000 gram. Satu gram 35 pound, 5000 gram 175.000 pound." Damon menarik napas untuk mencegah emosinya meledak. "Jadi inikah yang kau lakukan selama ini?"

"Aku tidak bisa menjelaskannya, Damon."

Sekarang Damon benar-benar kesulitan untuk menahan emosinya. Ia bangkit dari kursinya, lalu menarik kerah baju ayahnya.

"Mom dalam bahaya," gumamnya dingin. "Alaska dalam bahaya. Aku dalam bahaya. Kalau kau tidak bisa memberitahuku lebih lanjut tentang orang ini, tidak apa-apa. Tapi aku hanya ingin tahu kenapa. Kenapa namamu ada disini?"

Ayah Damon memberikan sesuatu kepada Damon lewat bawah meja.

Sebuah lencana.

"Apa...?"

"Lihat."

Damon menatap lencana itu lekat-lekat. Ia tentu pernah melihat lencana itu sebelumnya, di film-film laga yang biasa ia tonton bersama Alaska.

CIA Special Agent 767.

"Itulah alasannya."

Damon menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian ia tertawa. "Tidak," katanya sambil melemparkan lencana itu kembali kepada ayahnya. "Kau bercanda."

Ayahnya memberikan tanda pengenalnya.

Gabriel Ackerley.

"Ricardo bukan nama aslimu?"

Ayahnya menggeleng. "Ricardo itu nama kecilku."

"Oke," Damon tertawa getir. "Jadi sekarang kau bilang bahwa kau apa? Agen rahasia? Bekerja untuk CIA?" Damon menunggu respon dari ayahnya, tapi wajah ayahnya benar-benar serius. Ia tahu, karena ia juga terlihat seperti itu kalau sedang serius.

For Them, We Were.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang