10 years later.
"Dad, aku hanya akan menonton pertandingan Damon di Soho. Tidak jauh. Damon yang akan mengantarku. Damon yang menyetir, Dad. Tak bisakah dad mempercayainya sedikit? Oke. Oke. Terserah. Dah."
Alaska melemparkan ponselnya di sembarang tempat di atas kasur. Ia lalu memejamkan matanya, dan mengusap wajahnya karena kesal.
"Bagaimana?" Damon bertanya penuh harap.
"Dia mengizinkan. Dengan syarat, tidak lebih dari jam sembilan malam," Alaska menggerutu. "Sepertinya dad lupa aku ini sudah 18 tahun."
Damon hanya terkekeh saat mendengarkan Alaska menggerutu. Walaupun usia mereka sudah sama-sama delapan belas, ayah Alaska memang sering khawatir pada Alaska, seolah-olah Alaska adalah anak kecil berumur 5 tahun.
Besok hari Sabtu. Damon akan ada pertandingan kickboxing di Soho, dan Alaska sangat bersemangat untuk menontonnya. Sejak umur mereka 10 tahun, Damon mendaftar di sebuah tempat untuk belajar kickboxing tak jauh dari rumah mereka. Dia masih sering kesana sampai sekarang.
Saat umurnya 14, Damon sudah sering mengikuti turnamen kickboxing. Mulai dari yang resmi, sampai yang illegal. Tapi, tidak ada yang tahu soal pertandingan illegal-nya. Bahkan Alaska pun tidak.
Damon lebih sering ikut turnamen yang legal ketimbang yang illegal. Tentu, ia akan dapat uang secara langsung di turnamen illegal. Tetapi kadang, lawannya tidak seimbang. Tak jarang Damon pulang dengan luka di semua bagian tubuhnya.
"Jadi, bagaimana persiapannya?" Alaska mengalihkan topik. Sepertinya moodnya sudah kembali membaik. "Kau yakin akan menang, kan? Karena aku tidak akan jauh-jauh ke Soho hanya untuk melihatmu kalah."
Damon menggeleng-geleng, sebuah senyum tersungging di bibirnya. "Oh, Alaska, kau lupa bagaimana hebatnya aku?"
Sekarang Alaska yang tertawa. "Yah, kuharap semuanya tidak sia-sia."
***
"Kyle?"
Kyle sedang membuka lokernya untuk mengambil buku-buku fisika ketika ia mendengar seseorang memanggilnya. Kyle menoleh singkat ke asal suara.
Uh, uh. Disaster.
"Oh, hai, Isabelle," gumamnya tanpa melihat lawan bicaranya. "Ada apa?"
Sekarang Kyle sudah menutup lokernya, lalu menyandarkan bahu kanannya sembari menatap Isabelle. Isabelle terlihat seperti Isabelle—dress yang kelewat pendek, tas tangan besar, flatshoes, dan yang lainnya. Ia sedang memilin rambut pirangnya, seperti menggoda.
"Aku hanya ingin tahu. Apakah kau sibuk Jumat malam?"
Uh, uh. Tidak perlu berpikir dua kali untuk berkata tidak.
"Sibuk," jawab Kyle singkat.
Sebenarnya kalaupun ia tidak sibuk, ia pun akan mengatakan hal yang sama. Kebetulan yang mengejutkan, ia memang sibuk Jumat malam besok. Ia dipanggil bosnya untuk menyelesaikan beberapa urusan pengiriman barang.
"Doug mengadakan pesta di rumahnya karena orang tuanya sedang pergi ke Mesir atau semacamnya. Kau yakin kau takkan datang?"
Uh, uh. Kyle tahu bukan pesta itu tujuan Isabelle mengobrol dengannya. Tetapi, apa yang mereka lakukan setelah pesta-lah tujuan sebenarnya.
"Isabelle, aku benar-benar sibuk."
"Oh, demi Tuhan, Kyle!" Isabelle berteriak, membuat Kyle refleks mundur satu langkah sembari mengerutkan kening. "Begitu kah cara kau untuk memberitahuku kalau hubungan kita sudah berakhir? Kukira kau akan sedikit lebih gentle. Ternyata, kau pecundang."
KAMU SEDANG MEMBACA
For Them, We Were.
Romance-Book 3- Kalau dihitung, ada banyak sekali daftar orang yang ingin Kyle bunuh. Tapi dalam sekian banyak daftar itu, Kyle membuat skala prioritas. Pertama, Bianca Anderson. Kedua, Jeff Callison. Ketiga—dan yang paling ia ingin bunuh, adalah seorang p...